Kamis, 19 Maret 2015

Keutamaan Silaturahim

BimbinganIslam.com
Rabu, 27 Jumadil Ula 1436 H / 18 Maret 2015 M
Ustadz Firanda Andirja, MA
Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
Hadits 1 | Keutamaan Silaturahim
Download Audio
https://www.dropbox.com/s/oi1wc0k5fo1mchd/Keutamaan%20Silaturahim.mp3?dl=0
------------------------------------

KEUTAMAAN SILATURAHIM (BAGIAN 1)

Bismillahirrahmānirrahīm,
Alhamdulillāh, wash shalātu was salāmu 'ala Rasūlillāh.

Ikhwan dan akhwat,

Kita masuk dalam  bab yang baru yaitu bab "Al-Birr wa Ash-Shilah" (berbuat kebaikan dan menyambung silaturahmi)

Sebelum kita membahas hadits-hadits yang berkaitan dengan silaturahim, ada yang perlu diingatkan.

① Yang pertama.

Banyak orang yang salah menggunakan istilah yaitu menggantikan istilah ziarah dengan silaturahim.

Seperti tatkala seorang hendak mengunjungi saudara, teman atau ustadznya, dia mengatakan:

"Kita silaturahim kepada ustadz," atau, "Kita silaturahim ke rumah teman."

Padahal itu maknanya bukan silaturahim.

Silaturahim adalah menyambung kekerabatan.

Padahal kita dengan teman atau ustadz tidak ada hubungan kekerabatan.

Yang benar adalah kita menziarahi ustadz atau teman.

Kenapa demikian?

Karena Allāh dan syari'at membedakan antara "silaturahim" (menyambung kekerabatan) dan "ziyāratul ikhwān" (mengunjungi teman).

Antara silaturahim dengan ziarah berbeda, pahalanya juga berbeda.

Masing-masing memiliki kedudukan, akan tetapi silaturahim memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada sekedar ziarah.

Istilah ini yang sering beredar di tanah air kita yaitu mengganti istilah ziarah dengan silaturahim, padahal ini adalah salah dan harus kita perbaiki.

Silaturahim mendatangkan pahala-pahala yang istimewa sebagaimana nanti dijelaskan.

Di antara pahala silaturahmi, firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَٱلَّذِينَ يَصِلُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ...
ِ
"Dan orang-orang yang menghubungkan (menyambungkan) apa-apa yang Allāh perintahkan supaya dihubungkan (disambung, yaitu silaturahim)... "

(QS: Ar-Ra'du : 21)

Setelah menyebutkan beberapa amalan, lalu Allāh menyebutkan:

... أُولَٰئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ

..."Bagi mereka kesudahan (tempat tinggal) yang terbaik."

(QS: Ar-Ra'du : 22)

جَنَّٰتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا...

"(yaitu) surga ´Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama..."

(QS: Ar-Ra'du : 23)

Ini menunjukkan silaturahmi merupakan salah satu amalan yang luar biasa yang meyebabkan seorang bisa masuk surga.

Terlalu banyak hadits yang berkaitan dengan silaturahim yang menyebutkan keutamaan menyambung silaturahim dengan ibu, ayah, bibi, dan kerabat-kerabat lain secara umum.

Oleh karenanya jangan disamakan antara "silaturahim" dengan "ziyāratul ikhwān atau akhwāt".

② Perkara yang kedua.

Apa makna ar-rahim (kerabat)?

Kepada siapa kita harus bersilaturahim?

Kerabat bisa kita klasifikasikan menjadi tiga :

❶ Kerabat dari azhār (keluarga istri). Misal: ipar, mertua dll.

❷ Kerabat dari sepersusuan, misal saudara sepersusuan, kakak sepersusuan, ayah sepersusuan dll.

❸ Kerabat dari nasab, yaitu yang punya hubungan darah, misalnya saudara satu kakek dll.

Mana diantara tiga ini yang kita harus bersilaturahim?

Yang dimaksud dengan silaturahim adalah yang menyambung hubungan karena nasab atau hubungan darah, yaitu yang no.3.

Menyambung (berbuat baik) kepada kerabat istri tidak dinamakan silaturahim, tetapi kita dianjurkan berbuat baik secara umum kepada manusia terlebih lagi yang punya hubungan dengan kita, meskipun bukan hubungan rahim, seperti kakak istri, adik istri, mertua.

Kita berbuat baik kepada mertua atau ipar bukan berarti silaturahim, tapi silaturahim dari sisi istri kita (istri kita yang bersilaturahim).

Kalau kita berbuat baik kepada mertua maka secara zatnya tidak dikatakan silaturahim, tetapi mudah-mudahan kita mendapat pahala silaturahim karena kita membantu istri kita untuk bersilaturahim dengan ayah dan ibunya.

Karena asalnya bukan dari rahim yang sama.

Kemudian, yang berkenaan dengan saudara sepersususan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعَ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ

“Diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Yang Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam maksudkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan pernikahan.

Yaitu, yang menjadi mahram karena nasab (hubungan darah), demikian juga sepersusuan bisa menjadikan mahram.

Akan tetapi Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam TIDAK mengatakan,

يَجِبُ مِنَ الرَّضَاعَ مَا يَجِبُ مِنَ النَّسَبِ

Yang wajib berlaku pada nasab juga berlaku pada sepersusuan.

Seandainya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata demikian, berarti kita wajib juga bersilaturahmi kepada saudara sepersusuan, akan tetapi Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak mengatakan demikian.

Maka kembali kepada hukum umum yaitu kita berusaha berbuat baik kepada seluruh manusia, terlebih lagi kepada orang-orang yang mempunyai hubungan sepersususan dengan kita, namun dia bukan termasuk dari ayat dan hadits yang memerintahkan silaturahim

Oleh karenanya, yang dimaksud dengan silaturahim adalah menyambung hubungan karena nasab atau darah.

In syā Allāh akan kita jelaskan lebih lanjut pada halaqoh berikutnya.

Assalāmu 'alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
______________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar