TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #008
Bab 2: Keutamaan Ilmu dan Ulama #1
Keutamaan Ilmu
bagian 1
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Bismillahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum warohmatullaahi wabarokatuh
Alhamdulillaah washsholaatu wassalaamu
'ala Rasulillah, wa'ala 'alihi wa shohbihi wa man tabi'ahum bihuda ila yaumil
qiyamah. 'Amma ba'ad
Ikhwani wa akhawati fillah rohimani wa rohimakumullahu jami’an, alhamdulillah, pada halaqoh yang ke delapan ini ان شاء الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ kita masuk pada bab yang kedua, bab Keutamaan Ilmu dan
Ulama.
Pada bab ini tentu akan diterangkan tentang keutamaan ilmu
dan kemuliaan para ulama.
Berkata Syaikh DR Akhmad Farid, "Apakah itu Ilmu ?
Ilmu adalah yang tegak diatas dalil. Dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu
Al-Qur'an dan Sunnah yang dipahami dengan pemahaman salaful ummah".
Karena sejatinya ilmu adalah firman Allah, sabda Rosulullah
dan juga perkataan para sahabat. Tiga hal inilah yang menjadi rujukan di dalam
kita mencari ilmu syar'i yang harus kita pelajari.
Adapun tentang keutamaannya, berkata Syaikh,
"Disebutkan dalam al-Qur'an, diantaranya adalah firman الله سبحانه و تعالىٰ: QS
Al-Mujaadalah ayat 11:
.......يَرْفَعِ الله الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.......
"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman diantaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat".
Setelah الله سبحانه و تعالىٰ melihat
hati hamba-hambanya, kemudian Allah memilih diantara hambaNya untuk beriman,
karena hati mereka siap untuk mendapatkan iman, hidayah, Allah tinggikan mereka
derajatnya. Dan diantara orang-orang
yang beriman Allah pilih kembali untuk menjadi orang-orang yang berilmu,
mengemban agama ini. Sehingga menjadi orang yang berilmu adalah pilihan,
kebaikan dari الله سبحانه و تعالىٰ.
Dalam ayat yang lain juga الله سبحانه و تعالىٰ menyebutkan tentang keutamaan orang yang berilmu ini: QS
Azzumar ayat 9
.......قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ
وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ.......
"Katakanlah,
apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu ?"
Tentu jawabannya adalah tidak sama, pertanyaan ini adalah
pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Karena sangat bisa dipahami bahwa
sangat berbeda antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Hal
ini sebagaimana yang dituturkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
........
فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى
الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ .........
"Keutamaan
orang yang berilmu diatas ahli ibadah, seperti keutamaanku diatas orang yang
rendahan diantara kalian, yakni para sahabat".
Tentu ini adalah kemuliaan, dan ini adalah kedudukan yang
mulia. Bagaimana tidak ?, الله سبحانه و تعالىٰ telah
mengangkat derajat orang-orang yang berilmu, sampai Nabi mengatakan
kedudukannya seperti kemuliaannya diatas ahli ibadah, seperti kemuliaan
Rosulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, diatas orang yang rendahan diantara para sahabat.
Adapun dalam berita riwayat yang shohih, akan keutamaan
ilmu, diantaranya sabda Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
..........وَمَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا
يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
"Barang
siapa yang Allah kehendaki kepadanya kebaikan, maka Allah akan pahamkan ia
agama".
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam
Muslim).
Jadi orang yang paham terhadap die/ faqih, faqih dalam
artian: dia faqqih mengetahui hukum-hukum fiqih, mengetahui ahkamusy-syariah.
Atau faqqih dalam arti lebih dari ini. Sebagaimana ucapan Abu Darda:
من فقه العبد أن يعلم نزغات الشيطان آنى تأتيه
"Diantara kedalaman pemahaman seorang hamba, adalah
mengetahui bisikan-bisikan syaiton, kapanpun datangnya".
Ini dikatakan oleh sahabat yang mulia Abu Darda رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه sebagai kedalaman pemahaman seorang
hamba dalam agamanya. Sehingga fiqih fiddin, kaitannya dengan fiqih
ahkamusy-syariah, hukum-hukum syariah juga yang lainnya. Itu juga dikatakan
sebagai faqih.
Kalau kita simak hadits yang pertama tadi, "Barang
siapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka Allah akan fahamkan ia
agama". Ini sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Bin Baz رحمه الله تعالى,
beliau mengatakan:
الذي لا يتعلم ولا يتفقه ما أراد الله به خيرا
"Orang yang tidak belajar dan tidak mau menuntut ilmu, tidak
mau bertafaqquh fiddin, berarti dia tidak diinginkan kebaikan oleh الله سبحانه و تعالىٰ.
Diantara keutamaan ilmu yang lainnya, sabda Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
......... مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا
سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
"Barang
siapa yang meniti jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan
baginya jalan menuju surga".
(HR. Muslim dan yang lainnya.)
Makna meniti jalan dalam rangka menuntut ilmu, disebutkan
oleh Syaikh itu ada dua:
a). Meniti jalan dalam arti haqiqi, yaitu berjalan kaki
menuju ke majelis-majelis orang-orang yang berilmu.
b). Meniti jalan dalam arti maknawiyah yang mengantarkan
kepada dasar-dasar ilmu, seperti menghapal dan mempelajarinya.
Dan diantara makna "maka Allah mudahkan baginya jalan
menuju surga" adalah, الله سبحانه و تعالىٰ memudahkan
baginya ilmu yang dia tuntut, sehingga dia menempuh jalannya dan Allah mudahkan
baginya, karena sesungguhnya ilmu adalah jalan menuju surga.
Adakah penuntut ilmu, sehingga dia akan ditolong atasnya.
Dengan ilmunya ia akan ditolong menuju surga الله سبحانه و تعالىٰ.
Keutamaan yang begitu besar, bagi orang-orang yang berilmu,
bagi orang-orang yang menuntut ilmu, karena dengan ilmunya dia berjalan menuju
surga الله سبحانه و تعالىٰ.
Makna yang kedua, jalan menuju surga pada hari kiamat,
yaitu sirath, baik sebelum sirath ataupun sesudah sirath. Dan ilmu itu
mengantarkan kepada الله سبحانه و تعالىٰ melalui
jalan yang terdekat. Maka barang siapa yang meniti jalan menuntut ilmu, maka ia
akan sampai kepada الله سبحانه و تعالىٰ, akan sampai pula ke surga الله سبحانه و تعالىٰ, melalui jalan
yang terdekat.
Ilmu juga adalah petunjuk yang menunjuki manusia, yang
menunjuki orang yang menuntut ilmu tadi, yang mempelajarinya, yang menkajinya
di dalam kegelapan jahil, kegelapan kebodohan, kegelapan kerancuan dalam
berfikir atau syubhat, dan kegelapan keragu-raguan., karena ini adalah semuanya
kegelapan. Karena orang yang jahil, dia akan rancu dalam berfikir, mengira
bahwa dalam ayat satu dengan ayat lainnya terjadi kontradiksi, karena
kejahilannya, kedangkalan ilmunya, sehingga menganggap seolah-olah ada
kontradiksi dalam firman الله سبحانه و تعالىٰ.
Karena kedangkalan dalam masalah agama, menganggap
seolah-olah ada kontradiksi antara al-Qur'an dan hadits-hadits yang shohih,
sehingga naudzubillah sampai akhirnya menolak hadits yang shohih karena
dianggap kontradiksi dengan al-Qur'an. Dan ini adalah karena kejahilan, maka
dia harus belajar. Karena kejahilannya ini mengantarkan kepada kerancuan dalam
berfikir. Justru mendewakan akalnya, tidak tunduk terhadap dalil, tidak tunduk
terhadap firman Allah dan tidak tunduk terhadap sabda Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ.
Karena sejatinya kita diberi akal oleh الله سبحانه و تعالىٰ adalah terbatas, akan mampu menjangkau pada hal-hal memang
yang dimampuhi oleh akal ini, dan tidak akan mampu menjangkau pada hal-hal yang
memang akal tidak mampu. Sehingga kita dibarengi dalam menuntut ilmu itu dengan
kitabullah dan sunnah Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Karena akal
ibarat mata dan mata tidak akan mampu melihat tanpa cayaha, dan kitabullah dan
sunnah Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah cahaya. Ilmu adalah cahaya, sehingga mata mampu
melihat karena ada pantulan cahaya, pantulan ilmu kitabullah dan sunnah
Rosulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, oleh karenanya الله سبحانه و تعالىٰ menamakan kitabnya al-Qur'an dengan nama Nuur, yaitu
cahaya, karena cahaya itu memberi petunjuk, menerangi dari kegelapan, dari
kegelapan yang tadi disebutkan oleh Syaikh yaitu kegelapan kebodohan, kegelapan
kerancuan dalam berfikir dan kegelapan keragu-raguan.
Demikian pula karena kegelapan keraguan, yaitu kegelapan
karena kejahilannya dalam masalah ilmu sehingga dia ragu, ragu dalam perkara
akhirat, ragu dalam masalah pahala, ragu dalam masalah benar, salah, ragu dalam
masalah haq dan bathil. Hal ini adalah karena kejahilannya, maka harus ditopang
dengan ilmu yang shohih, kitabullah dan sunnah Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ,
sesuai dengan pemahaman sahabat, sesuai dengan pemahaman para salaful ummah.
Mereka orang-orang yang dididik langsung oleh Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ,
yang belajar langsung bersama guru yang terbaik Nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Demikian semoga berfaedah dan
bermanfaat.
Akhiru dakwana
'anilhamdulillahirobbil'alamin.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin
Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus
(penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)
TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #009
Bab 2: Keutamaan Ilmu Dan Ulama #2
Keutamaan Ilmu bagian 2:
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
BismiLLahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum warohmatuLLahi wabarokatuh
Innalhamdalillaahi nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastaghfiruhu Wana’udzubiillah minsyurruri ‘anfusinaa wasayyi’ati ‘amaalinnaa Manyahdihillahu
fala mudhillalah Wa man yudhlilhu
fala haadiyalah Wa asyhadu allaa ilaaha illallaahw ahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh laa nabiya walarosula ba’dahu, ’amma ba’ad.
Ikhwani wa akhawati fillah rohimani
wa rohimakumullah jami’an, saudara dan saudariku sekalian yang dirahmati oleh
الله سبحانه و تعالىٰ, dimanapun anda berada, pada halaqoh yang ke sembilan ini,
masih pada kelanjutan bab yang kedua yaitu Keutamaan Ilmu Dan Ulama. Yaitu
masih pada riwayat-riwayat tentang Keutamaan Ilmu Dan Ulama.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ
وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ
عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ
عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا ...
Dari Abdullah bin Amru bin Al Ash
[lalu aku dengar ia] berkata, 'Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,“Sesungguhnya الله سبحانه و تعالىٰ tidak
mencabut ilmu secara langsung dari dada manusia, akan tetapi الله سبحانه و تعالىٰ mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Maka apabila tidak
tersisa seorang alim pun, manusia akan menjadikankan pemimpin-pemimpin
orang-orang yang bodoh. Maka mereka pemimpin-pemimpin yang bodoh itu akan
ditanya, dan mereka pun akan memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan
menyesatkan”. (HR Bukhori
dan Muslim)
Adapun tentang yang dimaksud dalam
hadits ini, Ubadah bin Shomit رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه ditanya tentang hadits ini, beliau berkata, “Kalau kamu mau niscaya aku kabarkan kepadamu tentang ilmu yang pertama
kali diangkat dari manusia”, beliau mengatakan, “yaitu: khusuk”. Inilah ilmu yang pertama kali
diangkat dari manusia kata beliau.
Mengapa beliau mengatakan demikian
?
Ubadah bin Shomit رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه mengatakan demikian,
karena ilmu itu ada dua macam, yaitu salah satunya ilmu yang buahnya ada pada hati
manusia, yaitu ilmu tentang الله سبحانه و تعالىٰ,
nama-namaNya, sifat-sifatNya dan perbuatanNya yang melahirkan rasa khosyyah
kepada الله
سبحانه و تعالىٰ dan pengagungan kepada Nya, dan
rasa cinta kepada الله سبحانه و تعالىٰ dan harap
kepada Nya, dan rasa tawakkal kepadaNya, sikap penyandaran sepenuhnya kepada الله سبحانه و تعالىٰ.
Dan inilah ilmu yang bermanfa’at. Inilah yang dimaksud ilmu yang
pertama kali diangkat, yaitu ilmu nafi’, ilmu yang melahirkan khosyyah, ilmu yang melahirkan
rasa takut kepada الله سبحانه و تعالىٰ. Dan inilah
sejatinya ilmu yang dipelajari, yakni ilmu nafi’ / ilmu yang bermanfa’at.
Yaitu ilmu yang memberikan konsekuensi, untuk menjadikan seseorang
semakin taat dan beribadah kepada الله سبحانه و تعالىٰ, bukan
semakin jauh dari الله سبحانه و تعالىٰ. Bukan
semakin membangkan kepada الله سبحانه و تعالىٰ.
Dan inilah ilmu yang sejatinya
kenapa harus dipelajari, karena ilmu dipelajari bukan karena dzat nya, bukan
karena ilmu itu sendiri, tetapi ilmu dipelajari sebagai sarana atau wasilah
untuk semakin taat, untuk semakin sempurna ubudiyah kita kepada الله سبحانه و تعالىٰ. Karena inti diciptakan manusia dan jin adalah untuk beribadah
kepada الله
سبحانه و تعالىٰ.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ(56)
“Dan tidaklah kuciptakan manusia dan jin”, kata Allah, “melainkan supaya mereka beribadah
kepadaKu”.(QS
Adz-Dzariyaat ayat 56)
Dan ilmu yang bermanfaat inilah
yang melahirkan khosyyah kepada الله سبحانه و تعالىٰ, sehingga الله سبحانه و تعالىٰ memuji hamba-hambaNya, karena hanya orang yang berilmu inilah
ini yang bisa khosyyah kepada الله سبحانه و تعالىٰ.
....... إِنَّمَا يَخْشَى
اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ (28) ........
“Sesungguhnya yang takut kepada الله سبحانه و تعالىٰ diantara hamba-hambaNya, hanyalah orang-orang yang berilmu, al-‘ulama”.(QS Faathir ayat 28)
(Hal itu) Karena ilmu bukan
banyaknya periwayatan, bukan menyebutkan hadits-hadits saja, tapi ilmu itu yang
melahirkan khosyatullah. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh sahabat yang mulia
Abdullah bin Mas’ud رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه ,:
ليس العلم بكثرة الرواية ولكن العلم خشية
“Bukannya ilmu itu dengan banyaknya periwayatan, tetapi
ilmu adalah rasa takut kepada الله سبحانه و تعالىٰ.”
إنما العلم خشية
“Ilmu hanyalah rasa takut kepada الله سبحانه و تعالىٰ”.
Ini juga sebagaimana yang diucapkan
oleh sahabat yang mulia Abdullah Ibnu Mas’ud:
إن أقواما ِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ
تَرَاقِيَهُمْ ولكن إذا وقع في القلب فرسخ
فيه نفع
“Sesungguhnya ada golongan kaum, yang mereka membaca
Qur’an, tetapi bacaan mereka tidak melewati tenggorokan mereka.Andai saja
bacaan qur’an mereka itu masuk dalam hati, akan menghujam kuat di hati, maka pasti
ia akan bermanfa’at".
Dan berkata Hasan Al Basri
rahimahullah, “Ilmu itu ada
2 macam, yaitu:
1.
Ilmu yang ada di lisan
Yaitu ilmu yang akan menghujat anak
keturunan Adam. Sebagaimana dalam hadits, “Al-Qur’an itu yang akan
membelamu atau yang akan
menghujatmu” (HR Muslim).
2.
Ilmu
yang ada di hati
Inilah
ilmu yang bermanfaat, yang kita sebutkan tadi, ilmu yang melahirkan kosyyah, ketundukan
ibadah kepada الله سبحانه و تعالىٰ, ilmu inilah
yang melahirkan ketundukan khosyyah, ubudiyah kepada الله سبحانه و تعالىٰ, melembutkan
hati, tidak mempertentangkan dan
mempermasalahkan aturan الله سبحانه و تعالىٰ. Menjadikan
semakin taat dan beribadah kepada الله سبحانه و تعالىٰ. Dan inilah
yang tadi dikatakan oleh Ubadah bin Shomit, yang pertama kali diangkat.
Ditegaskan kembali oleh Syaikh DR
Ahmad Farid, “Maka yang
pertama kali diangkat dari ilmu adalah ilmu nafi’, ilmu yang bermanfaat. Yaitu ilmu
bathin, ilmu tazkiyatun nufus, ilmu jiwa, yang apabila telah bercampur dengan
hati, akan memperbaiki hati, menjadikan hati semakin taat, mudah menerima
kebenaran, bergetar tatkala menyebutkan nama الله سبحانه و تعالىٰ, takut akan
adzab الله سبحانه و تعالىٰ, berharap untuk mendapatkan surga الله سبحانه و تعالىٰ, cinta, ingin
berjumpa dengan الله سبحانه و تعالىٰ, cinta dan
ingin berjumpa dengan orang yang dicintai الله سبحانه و تعالىٰ, yaitu
Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Inilah ilmu yang melembutkan hati,
ilmu yang mampu melembutkan kerasnya
hati karena noda-noda maksiat, karena pikiran-pikiran jahat. Maka apabila telah
diangkat ilmu ini hingga tersisa di sana ilmu lisan. Ilmu yang ada sekedar di
lisan. Pandai berbicara, mengolah kata tetapi tidak diamalkan, banyak khuthoba’nya (ahli pidato), tetapi sedikit
ulamanya, banyak orang yang tulis menulis, tapi tidak bersumber dari kitabullah
dan sunnah Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, yang kosong dari amal, sekedar teori yang dikumpulkan dari
ucapan-ucapan barat yang tidak bernilai kemanfa’atan.
Tatkala ilmu khosyyah itu telah diangkat, tatkala ilmu bathin, ilmu
fil qolbi telah diangkat, maka manusia akan bermudah-mudahan, mereka tidak
mengamalkan konsekuensi dari ilmu itu, tidak melahirkan tuntutan dari ilmu itu,
tidak para pengemban ilmu ini, tidak pula selain mereka. Kemudian hilanglah
ilmu ini, diangkatlah ilmu ini, dengan meninggalnya para pengemban, sehingga
tegaklah kiamat kepada mereka yang seburuk-buruk makhluk, sejahat-jahat
makhluk, yang sudah tidak mengenal lagi الله سبحانه و تعالىٰ, yang keras
hati mereka, sudah tidak ada lagi di hati mereka nama الله سبحانه و تعالىٰ. Sudah tidak
mengenal Allah, tidak menyebut nama Allah, tidak mengagungkanNya. Naudzubillah,
summa naudzubillah.
Semoga الله سبحانه و تعالىٰ menyelamatkan
kita semua dan memberikan taufik kepada kita untuk meraih ilmu yang bermanfa’at. Yaitu ilmu yang bersumber dari
kitabullah dan sunnah Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan ilmu yang diamalkan. Dan semoga الله سبحانه و تعالىٰ memberikan
taufik kepada kita untuk istiqomah diatas Dien, senantiasa mempelajarinya dan
mengamalkannya, meskipun orang semakin menjauhkannya.
Wallahuta’ala wa ‘alam bishshowab,
walhamdulillahirrobbil ‘alamiin. Haada
ma’akulu lakum, wa sallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa barik wa salim,
walhamdulillahirobbil ‘alamin.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin
Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus
(penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)
TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #010
Bab 2: Keutamaan Ilmu Dan Ulama #3
Keutamaan Ilmu bagian 3:
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
BismiLLahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum warohmatuLLahi wabarokatuh
Innalhamdalillaahi nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastaghfiruhu Wana’udzubiillah minsyurruri ‘anfusinaa wasayyi’ati ‘amaalinnaa. Manyahdihillahu
fala mudhillalah Wa man yudhlilhu
fala haadiyalah.Asyhadu allaa ilaaha illaLLaah
wahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh laa nabiya walarosula ba’dahu.
Ikhwani fiddiin wa akhawati fillah
rohimani wa rohimakumullah jami’an, saudara dan saudariku sekalian yang dirahmati oleh
الله سبحان و تعالىٰ , dimanapun anda berada, semoga الله سبحان و تعالىٰ senantiasa memberikan kepada kita nikmat
sejuknya untuk menuntut ilmu, pada halaqoh yang ke sepuluh ini, dari rangkaian
kajian kita Tazkiyatun Nufus masih pada bab yang kedua yaitu penjabaran
riwayat-riwayat tentang Keutamaan Ilmu.
Berkata Syaikh DR Ahmad Farid
hafidzohullahu ta’ala, diantara
dalil-dalil yang menunjukkan akan keutamaan ilmu dan juga ahli ilmu, yaitu
sabda Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ الله
مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ الله الْحِكْمَةَ
فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak ada hasad kecuali dalam 2 perkara:
1.
Seseorang yang Allah beri harta, kemudian dibelanjakan
diatas jalan kebenaran atau digunakannya untuk membela kebenaran.
2.
Seseorang yang Allah beri ilmu, kemudian mengamalkannya dan mengajarkannya.”
(HR Bukhori dan Muslim)
Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam hal ini menerangkan
bolehnya kita memiliki keinginan yang serupa yang dimiliki oleh orang-orang
yang Allah beri harta dan dibelanjakannya di jalan الله سبحان و تعالىٰ /jalan
kebenaran atau seseorang yang Allah beri ilmu dan mengamalkannya dan
mengajarkan manusia.
Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,:
“Sesungguhnya dunia itu hanya milik 4 orang (hanya
milik 4 golongan):
Pertama, milik seorang yang Allah beri
harta dan ilmu, yang dia bertakwa kepada الله سبحان و تعالىٰ dalam hartanya itu, kemudian menyambung
silaturahminya, dan mengetahui bahwa ada hak Allah dalam hartanya tersebut.
Maka golongan yang pertama ini adalah sebaik-baik orang yang menempati
kedudukan di sisi الله سبحان و تعالىٰ .
Kedua, seorang yang Allah berikan ilmu
tetapi tidak diberi harta (Allah anugerahi rizki ilmu tapi tidak diberi rizki
harta), namun dia berkata, “Kalau sekiranya aku ini memiliki
harta, niscaya aku akan melakukannya seperti Fulan", (yakni kelompok yang
pertama). Maka seseorang ini dengan niatnya yang sholehah dan kedua orang ini
pahalanya sama (pahala kelompok/golongan yang kedua ini seperti yang pertama,
karena ilmunya).
Ketiga, seorang yang Allah berikan harta
tetapi tidak diberi ilmu, dan dia belanjakan hartanya, tidak bertakwa kepada الله سبحان و تعالىٰ (Robbnya) di dalam
hartanya tersebut, tidak menyambung tali silaturahminya, juga tidak mengetahui
bahwa Allah punya hak pada hartanya tersebut. Maka golongan yang ketiga ini,
menempati seburuk-buruk kedudukan di sisi الله سبحان و تعالىٰ .
Keempat, seorang yang tidak diberi harta
dan tidak pula ilmu, dia berkata, “Kalau sekiranya aku punya harta,
niscaya aku akan mengamalkan seperti perbuatan Fulan”, yakni kelompok yang ketiga,
seperti orang yang ketiga. Dia dengan niatnya itu (niat untuk meniru
menghambur-hamburkan harta tadi), maka keduanya dalam dosa sama.”
Jadi golongan yang keempat ini,
meski dia tidak punya harta, tidak punya ilmu, tapi karena dia meniru,
mengikuti orang yang ketiga, maka dia dosanya sama.
(HR Tirmidzi, beliau berkata hadits
ini hasan shohih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan dishohihkan
oleh Imam AlBani Rahimahullahu ta’ala).
Berkata Syaikh DR Ahmad Farid
hafidzahullahu ta’ala, disini
kita lihat bahwa, kembalinya kebahagiaan itu secara global adalah kembalinya
pada ilmu dan konsekuensi dari ilmu. Empat golongan manusia yang hidup di dunia
ini, yang beruntung adalah orang yang memiliki ilmu, baik yang kaya dan berilmu
atau yang berilmu saja. Karena seorang yang berilmu dia punya niat yang
sholihah, dia tahu, karena dengan sekedar niat yang benar, sudah bisa
menyampaikan pada amal sholeh /amal kebaikan, sehingga meskipun dia miskin
tidak punya harta, dia berangan-angan punya azam dan tekat seperti orang kaya
yang membelanjakan hartanya di jalan الله سبحان و تعالىٰ . Sehingga
keduanya punya keutamaan yang sama.
Sebaliknya kesengsaraan itu secara
global, kembalinya kepada kebodohan dan buah dari kebodohan. Orang yang ketiga
dan yang keempat, sekiranya dia tahu akan hak Allah pada hartanya, sekiranya
tahu fungsi harta yang Allah berikan kepadanya, meskipun yang keempat tidak
punya harta, tapi kalau dia tahu bahwa fungsi harta adalah juga untuk
dibelanjakan di jalan الله سبحان و تعالىٰ , tentu dia
tidak akan meniru golongan yang ketiga. Gara-gara sikap/tekat nya ingin meniru,
cuma sekedar keinginan saja, dosa nya sama.
Makanya Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , kaitannya dengan harta ini mengatakan,:
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ
الصَّالِحِ
”Seutama-utama harta yang baik itu adalah harta yang
dimiliki oleh hamba Allah yang sholeh”.
Karena kalau orang sholeh, kaya
raya, dia pasti akan membelanjakan di jalan الله سبحان و تعالىٰ , membangun
masjid, apabila dia tahu berilmu, dimana Rosulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ mengatakan:
مَنْ بَنَى مَسْجِدًا الله بَنَى الله لَهُ فِي
الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang membangun masjid karena Allah di
dunia, الله سبحان و تعالىٰ akan membangunkan baginya rumah di surga”
Dia akan membangun pesantren, dia
akan membangun fasilitas-fasilitas umum yang bermanfaat bagi kaum muslimin,
seperti pengairan, sumur, ataupun irigasi yang dibutuhkan oleh kaum muslimin.
Atau mungkin bendungan, jikalau dia memang kekayaannya tidak terhitung.
Seutama-utama harta yang baik itu
yang dimiliki oleh hamba Allah yang sholeh.
Berkata Imam Ahmad, tentang
kaitannya keutamaan ilmu itu, “Manusia itu membutuhkan kepada ilmu, lebih dari
kebutuhannya terhadap makanan dan minuman. Karena kita tahu, karena makanan dan
minuman seorang membutuhkannya paling sekali atau dua kali. Sedangkan ilmu
seseorang membutuhkannya hitungan nafas".
Setiap saat dia membutuhkan ilmu,
dia berjual-beli butuh ilmu, dia bermualamah dengan masyarakat, butuh ilmu,
bagaimana cara yang benar dalam Islam, dia bersilaturahmi, dia butuh ilmu,
bagaimana cara silaturahmi yang benar. Dia bertamasya butuh ilmu, bagaimana
tamasya yang benar menurut Islam. Dia ingin menjenguk orang sakit, butuh ilmu,
bagaimana adab-adab yang benar menurut Islam. Semua dibutuhkan ilmu, ingin
sholat, ingin bayar zakat, ingin berhaji, semua ibadah dibutuhkan ilmu. Bahkan
kebahagiaan dunia dengan ilmu, kebahagian akhirat dengan ilmu.
Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala mengatakan, “Barang siapa yang menginginkan
kebahagiaan dunia, maka dengan ilmu, barang siapa yang menginginkan kebahagian
akhirat, maka dengan ilmu”.
Dan kebahagian dunia dan akhirat,
kalau ingin menggapainya adalah dengan ilmu yang ada di hati.
Berkata Sufyan Ibn Uyainah, “Orang yang tinggi kedudukannya di
hadapan الله
سبحان و تعالىٰ dan dihadapan hamba-hambanya, mereka itulah
adalah para nabi dan para ulama”.
Mengapa para ulama dikatakan
kedudukannya tertinggi setelah para nabi ? Karena Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ
الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا
الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Ulama adalah pewaris para Nabi. Dan Susungguhnya Para
Nabi tidak mewariskan Dinar, tidak pula Dirham. Mereka itu hanya mewarisi ilmu.
Barang siapa yang mengambil bagian dari ilmu ini, maka dia sungguh telah
mengambil bagian yang banyak, bagian yang cukup.”
Kemudian Syaikh DR Ahmad Farid
menutup pembahasan Keutaan Ilmu dan Ulama ini dengan perkataan syair:
Tidak ada kebanggan kecuali yang
dimiliki oleh orang-orang yang berilmu, karena sesungguhnya mereka diatas
petunjuk, dan mereka menunjukkan jalan yang lurus kepada siapa saja yang
mencari hidayah.
Dan kadar kemuliaan seseorang itu,
tergantung apa yang dia tekuninya.
Dan orang-orang yang bodoh itu
menjadi musuh bagi orang-orang berilmu.
Maka beruntunglan dengan ilmu,
sukseslah dengan ilmu, maka akan hidup dengan kehidupan yang abadi.
Orang-orang itu telah meninggal,
sedangkan ahlul ilmi adalah orang-orang yang hidup.
Karena orang-orang yang berilmu,
terus disebut namanya meskipun dia telah meninggal, sedangkan orang-orang biasa
tidak dikenal zaman lagi, tidak dikenal namanya, karena dia bukan orang-orang
yang berilmu.
Dan ini sudah menjadi pelajaran
yang harus kita lihat, dari para ulama ahlus sunnah yang ada, meskipun mereka
telah wafat, telah meninggal dunia, tetapi nama-nama mereka masih harum,
nama-nama mereka masih tersusun rapi di kitab-kitab dan juga di benak kaum
muslimin yang cinta terhadap ilmu.
Semoga الله سبحان و تعالىٰ memberikan taufik kepada kita, untuk kita
cinta terhadap ilmu dan ahlinya, dan juga diberikan semangat terus untuk
menuntut ilmu, terutama untuk meluruskan hati ini, sehingga hati ini tidak
menceng dari jalan الله سبحان و تعالىٰ , namun hati
ini lurus di jalanNya dan senantiasa mendapatkan naungan dari الله سبحان و تعالىٰ , mendapatkan taufik untuk menikmati indahnya Islam.
Wabillahi taufik. Demikian semoga
berfaedah dan bermafaat.
Haada ma’akuulu lakum, walhamdulillahirobbil
‘alamin.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis: Syaikh DR
Ahmad Farid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar