Rabu, 04 Februari 2015

TAZKIYATUN-NUFUS Halaqoh 001 - 007

TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #001
Bab Muqadimah Tazkiyatun Nufus
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc


Assalamu'alaikum warohmatuLLahi wabarokatuh
Alhamdulliahi washsholatu wassalamu 'ala RosuliLLah, wa'ala 'alihi wa shohbihi wa man tabi'ahum bihuda ila yaumil qiyamah. 'Amma ba'ad

AlhamduliLLah kita bersyukur kepada الله سبحانه و تعالىٰ yang dengan segala kenikmatanNya ALLah mudahkan kita untuk kembali mengawali mempelajari diinuLLah, khususnya yang berkaitan dengan tazkiyatun nufus, kaitannya dengan ilmu pensucian jiwa, bersihnya hati.

Penting untuk dipelajari, karena berkaitan dengan hati, jika hati ini baik, maka baiklah seluruh anggota badan dan apabila hati ini rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan yang lainnya pula. Sehingga, sebagaimana seseorang perhatian terhadap tampilan lahiriahnya, dia juga harus perhatian terhadap hatinya, yang sangat penting, karena ini adalah tempat dimana الله سبحانه و تعالىٰ  melihat baik buruknya seseorang.

Hadits Riwayat Muslim:

- وَعَنْ أبي هُريْرة عَبْدِ الرَّحْمن بْنِ صخْرٍ رضي الله عَنْهُ قال : قالَ رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم ، وَلا إِلى صُوَرِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعمالِكُمْ » رواه مسلم .

Dari Abu Hurairah, yaitu Abdur Rahman bin Shakhr  رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda:Sesungguhnya Allah Taala itu tidak melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula kepada bentuk rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hatimu sekalian.

Oleh karena itu maka kita penting sekali untuk memperbaiki jiwa ini, membenarkannya, meluruskannya atau itu yang dikenal dengan tazkiyatun nufus.

الله سبحانه و تعالىٰ  berfirman dalam QS: Asy-Syams 9-10:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا ((10

Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.

Demikian pula nabi  محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا

"Ya Allah berikan jiwa ini taqwanya, sucikan ya Allah, Engkau adalah sebaik-baik yang mensucikan jiwa ini."

Maka, penting bagi kita untuk mempelajari tazkiyatun nufus, yaitu mensucikannya dan membersihkannya dari segala kotoran yang mengotorinya. Dan dengan itu akhirnya jiwa siap untuk menyambut seruan Robb-nya. Untuk siap menjadi yang beruntung di dunia dan di akhirat.

Kitab Tazkiyatun Nufus ini yang awalnya ditulis oleh Syaikh DR Akhmad Farid berjudul, "Daqoiqul Akhbar Fi Roqoiqil Akhyar (دقائق الأخبار في رقائق الأخيار ) yang kemudian akhirnya pertama kali dicetak dengan judul Tazkiyatun Nufus, kemudian setelah waktu yang lama Syaikh melihat kembali adanya beberapa kekurangan, maka diluruskan dengan beberapa penambahan dan diganti dari riwayat-riwayat yang dho'if ke riwayat-riwayat yang shohih, jika sudah ada riwayat dari Bukhori dan Muslim, maka mencukupkan dengan riwayat Bukhori dan Muslim dan meninggalkan riwayat-riwayat yang sebelumnya.

Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)


TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #002
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #1
Ikhlas Bagian 1
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc


Ikhlas dan i'tiba mengikuti nabi  محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah dua syarat untuk diterimanya amal. الله سبحانه و تعالىٰ tidak menerima amalan dari amal-amal sehingga terpenuhi di dalam amal tersebut dua syarat, yaitu:
1.         Ikhlas yaitu syarat bathin.
2.         Mengikuti sunnah Rosulullah  محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, yaitu syarat dhohir,

Jadi, الله سبحانه و تعالىٰ tidak akan menerima amalan seorang hamba, sehingga dia betul-betul memurnikan amalan tersebut hanya karena الله سبحانه و تعالىٰ, ikhlas. Ini perkara penting di dalam tazkiyatun nufus, bahwa terkadang seorang mengabaikan amalan yang dilakukannya, apakah sudah ikhlas atau belum, dia tidak memperhatikannya, padahal seharunya dia perhatian, bahwa ikhlas adalah syarat mutlak agar amalannya diterima, ini syarat bathin karena yang tahu hanya الله سبحانه و تعالىٰ.

Sedangkan yang kedua adalah dengan mengikuti sunnah Rosulullah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, ini dikatakan syarat dhohir karena nampak. Dan meskipun sudah ikhlas namun tidak mengikuti sunnah Rosulullah  محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka bisa tertolak.

Dalil: QS Al-Muluk 2:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,

Yang dimaksud dengan "yang paling baik amalannya", adalah (Fudl bin Iyyadh) mengatakan: "yaitu yang paling ikhlas dan paling benar"

Sesungguhnya amalan, apabila ikhlas tapi tidak benar, maksudnya tidak mutaba'ah yakni tidak mengikuti sunnah RasuluLLah  محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka tidak diterima. Dan juga berlaku sebaliknya. Meskipun benar yakni mengikuti sunnah RasuluLLah  محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima.

Oleh karena itu الله سبحانه و تعالىٰ mengatakannya dalam QS Al-Kahfi 110:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan dalam beribadat kepada Tuhannya dengan suatu apapun."

Yang dimaksud dengan amal sholeh disini adalah yang berkesuaian dengan sunnah. Maksudnya mengikuti sunnah RosuluLLah  محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Yang dimaksud dengan janganlah ia mempersekutukan dalam beribadat kepada Tuhannya dengan suatu apapun adalah ikhlas.

QS An-Nisaa 125:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, dan diapun berbuat ihsan.

Maksud dari menyerahkan dirinya kepada Allah adalah ikhlas
Yang yang dimaksud dengan ihsan adalah mutaba'ah, yaitu mengikuti sunnah RasuluLLah  محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)


TAZKIYATUN-NUFUS 
Halaqoh #003
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #2
Ikhlas Bagian 2: Pengertian Ikhlas
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc


Mu'allif Syaikh DR Ahmad Farid حفظه الله mengatakan "Ikhlas itu adalah memurnikan tujuan dalam bertaqorrub kepada الله dari hal-hal yang mengotorinya".
Terkadang ibadah itu meski niatnya sudah benar, terkadang dicampuri dengan hal-hal yang mengotorinya, seperti riya', ingin dipuji, ingin didengar atau sum'ah, dan seterusnya. Hal-hal inilah yang dikatakan sesuatu yang mengotorinya.

Ada juga yang mengatakan "Ikhlas adalah menjadikan الله sebagi satu-satunya tujuan dalam segala bentuk keta'atan". Memurnikan maksud atau tujuan di dalam keta'atan kepada الله سبحانه و تعالىٰ, hanya untuk الله سبحانه و تعالىٰ, atau ini tepatnya adalah ikhlas yang lawan dari syirik. Bahwa ikhlas itu adalah memurnikan ibadah semata-mata hanya untuk الله سبحانه و تعالىٰ.

Yang lain mengatakan "Ikhlas adalah mengabaikan/melupakan pandangan makhluk dengan senantiasa dan berkonsentrasi memandang kepada pandangan Allah yang maha pencipta. Jadi disini berarti sesorang yang ikhlas itu adalah orang yang tidak mencari pandangan manusia, tidak mencari sebutan manusia, akan tetap beramal walaupun dipuji ataupun dicela. Pujian tidak menjadikan semakin semangat untuk beramal sholeh, cela'an tidak membuat surut untuk beramal sholeh. Karena yang dia pandang dan dia cari adalan pandangan الله سبحانه و تعالىٰ, bukan pandangan makhluk. Sebagaimana ungkapan para ulama رحمهم الله تعالى, bahwa ridho manusia itu tujuan yang tidak akan pernah tercapai. Ridho manusia suatu tujuan yang tidak pernah ada tepinya. Demikian pula karena karakter dari manusia itu selalu memuji atau mencela. Sebagaimana ungkapan lainnya, bahwa "Ucapan manusia itu tidak ada habisnya".

Kemudian Syaikh mengatakan lagi, bahwa "Ikhlas adalah syarat diterimanya amal sholeh. Dan amal sholeh itu amal yang berkesesuaian dengan sunnah Rosulullah  محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, itu baru dikatakan amal sholeh.

الله سبحانه و تعالىٰ telah memerintahkan kita semua untuk senantiasa ikhlas, QS Al-Bayyinah 5:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.

Demikian pula Nabi  محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menerangkan tentang bagaimana sebenarnya jika suatu pekerjaan atau suatu perbuatan, bahkan perbuatan yang mulia dan tinggi pahalanya disisi الله سبحانه و تعالىٰ seperti jihad, jika niatnya adalah semata-mata mencari sebutan, entah gelar pahlawan ataupun yang lainnya, atau hanya sekedar upah atau bayaran.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَرَأَيْتَ رَجُلًا غَزَا يَلْتَمِسُ الْأَجْرَ وَالذِّكْرَ مَالَهُ فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ فَأَعَادَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يَقُولُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الله لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

Dari Abu Umamah Al Bahili, ia berkata: Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ seraya berkata, "Bagaimana pendapat baginda tentang seseorang yang berperang mengharapkan balasan dan pujian, apa yang ia dapatkan?" Maka Rasulullah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, 'Ia tidak akan mendapatkan apapun?" Kemudian orang itu mengulang pertanyaannya sampaitiga kali, dan Rasulullah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawabnya dengan bersabda, "Ia tidak akan mendapatkan apapun" Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas hanya mengharap wajah-Nya"

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Nasa'i, dihasankan oleh 'Iraqi dan dihasankan oleh Imam Albany rahimahullah dalam Shahihah.


Dalam riwayat yang lain:
Dari Abu Sa'id Al-Khudri  رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه berkata, bahwa Rosulullah  محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pada saat haji wada, bersabda:

نضر الله امْرأ سمع مَقَالَتي فوعاها فَرب حَامِل فقه لَيْسَ بفقيه ثَلَاث لَا يغل عَلَيْهِنَّ قلب امرىء مُؤمن إخلاص الْعَمَل لله والمناصحة لائمة الْمُسلمين وَلُزُوم جَمَاعَتهمْ فَإِن دعاءهم مُحِيط من ورائهم

"Semoga Allah membuat wajah berseri-seri atau mencerahkannyabagi seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dia memahaminya. Berapa banyak pembawa fikih yang tidak fakih (tidak mengerti fikih). Tiga perkara yang (karenanya) hati seorang Mukmin tidak akan ditimpa dengki: Mengikhlaskan amal karena Allah, memberi nasihat kepada para pemimpin kaum Muslimin dan berpegang kepada jamaah mereka, karena doa mereka mengelilingi mereka dari belakang mereka."

Ada tiga hal yang hati seorang mukmin tidak dengki, yaitu:
1.         Mengikhlaskan amal hanya karena الله سبحانه و تعالىٰ
2.         Saling memberikan nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin.
3.         Berpegang teguh bersama jama'ah kaum muslimin.

Hadits hasan shohih ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dan diriwayatkan oleh ibnu Qudamah, Imam Darimi, Imam Bukhori, Imam Ahmad dan dishohihkan oleh Al-Albany.

Dengan tiga perkara ini hati akan menjadi baik, maka barang siapa yang berakhlak dengan tiga perkara tadi, maka jika menasehati pemimpin bukan di mimbar-mimbar ataupun di tempat umum, melainkan secara langsung one by one, ketemu face to face. Ini adalah afdholul jihaad.

Nabi  محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Seutama-utama jihad adalah kalimat yang benar yang disampaikan kepada pemimpin yang dholim.

dan kalimat yang benar ini disampaikan dengan cara nasehat. Nasehat itu bukan dibeberkan di tempat-tempat umum, tetapi disampaikan orang per orang, one by one, empat mata saja.

Dan yang ketiga tadi adalah berpegang teguh dengan jama'ah mereka. Dengan tiga perkara tersebut maka akan bersih dari khianat, dengki dan keburukan. Demikian pula kita tahu bahwa seorang hamba tidak akan bisa lepas dari jeratan syaithon, kecuali dengan ikhlas.

Sebagaimana firman الله سبحانه و تعالىٰ :
QS : Shod 83

إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

Kecuali hamba-hamba Allah yang diantara nya adalah orang-orang yang ikhlas.

Diriwayatkan, bahwa ada salah seorang diantara orang yang sholeh, mengatakan kepada dirinya, "wahai jiwa, wahai jiwa, ikhlaslah, ikhlaslah, maka engkau akan lepas dari belenggu. Engkau akan bebas, engkau akan selamat, ikhlaslah, maka engkau akan selamat".

Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)


TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #004
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #3
Ikhlas Bagian 3: Betapa Sulitnya Ikhlas
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc


Berkata Mu'allif (penulis) Syaikh DR Ahmad Farid حفظه الله, setiap harapan dari harapan-harapan dunia, setiap bagian dari bagian dunia yang jiwa menjadi tenang dengannya, yang hati cenderung kepadanya, sedikit atau banyaknya, apabila telah mencampuri amalan, maka akan mengotori kejernihan amalan tadi, sehingga hilanglah ikhlasnya.
Dan kita tahu bahwa seseorang itu terikat, terbelenggu dengan harapan-harapannya, tenggelam dengan syahwat-syahwatnya. Sedikit sekali dari perbuatan atau ibadahnya yang bisa lepas dari harapan-harapan dunia dan tujuan-tujuan dunia yang sebentar.

Oleh karena itu ada yang mengatakan, barang siapa yang selamat sejenak saja, ikhlas mengharap wajah الله سبحانه و تعالىٰ di dalam umurnya, maka dia telah sukses. Hal ini tentu karena saking agungnya ikhlas, saking beratnya ikhlas, sehingga banyak sekali orang yang tidak selamat dalam hal ini.
Syaikh mengatakan, hal ini karena beratnya ikhlas, ikhlas bukan perkara yang mudah, semua kita butuh ikhlas, semua kita masih harus senantiasa berusaha untuk ikhlas. Seorang 'alim, seorang penuntut ilmu, seorang penulis, seorang pemateri kajian, seorang yang beribadah, apapun dia, dia harus senantiasa untuk berusaha ikhlas di dalam ibadahnya tersebut agar tidak terkotori dengan suatu amalan apapun, harapan-harapan dunia apapun, karena kalau sudah ada nasiibun/hadzdzun (bagian-bagian dunia yang mengotorinya) yang akan merusak keilhlasan, yang akan mengotori keikhlasannya.
Hal ini karena susahnya ikhlas, beratnya ikhlas dan susahnya mensucikan hati dari segala yang mengotorinya.

Karena kita tahu bahwa, ikhlas itu adalah mensucikan hati dari segala kotoran-kotoran yang mengotori semuanya, sedikitnya atau banyaknya. Sampai betul-betul murni dalam memaksudkan taqorrubnya kepadaالله سبحانه و تعالىٰ, tidak ada pendorong, tidak ada motivasi, kecuali semata-mata karena ikhlas, mengharap wajah Allah. Dan hal ini tidak bisa digambarkan, kecuali hanya dari orang yang cinta kepada الله سبحانه و تعالىٰ, yang sudah tenggelam cita-citanya, orientasinya mengharapkan kebahagian akhirat dan akhirat, atau dengan istilah kita akhirat oriented. Jadi akhirat menjadi orientasi terbesar dan obsesinya untuk sukses, karena kita tahu الله سبحانه و تعالىٰ telah menyatakannya bahwa: akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.

Jadi orang yang ikhlas betul-betul karena kecintaannya kepada الله سبحانه و تعالىٰ, karena dia telah tenggelam dalam cita-citanya untuk menggapai kebahagian akhirat, sehingga tidak ada yang diinginkannya, melainkan betul-betul keridhaan Allah, kecintaan Allah kepadanya, sehingga dunia seolah-olah telah dibuangnya jauh-jauh, tidak ada tempat dihatinya untuk dunia. Orang bilang dunia di genggamannya, tapi akhirat di hatinya.
Dimana tidak ada tersisa tempat di hatinya untuk cinta terhadap dunia. Permisalan untuk orang seperti ini sekalipun dia dalam hal makan, minum ataupun membuang hajatnya, maka diupayakan untuk ikhlas amal dan meluruskan niatnya, menshahihkan niatnya.

Kalau belum bisa demikian keadaannya, untuk berupaya senantiasa ikhlas dalam segala gerak langkah kehidupannya, ucapan dan yang diperbuatnya, maka pintu keikhlasan telah tertutup atasnya, kecuali sangat jarang yang bisa memasukinya, kecuali orang-orang yang Allah berikan rahmat.

Muallif juga mengatakan, dan sebagaimana orang yang telah lebih dominan dalam hatinya kecintaan pada الله سبحانه و تعالىٰ, kecintaan terhadap negeri akhirat, itu akan gerak kehidupannya sehari-hari, rutinitasnya menjadi cerminan cita-citanya, sehingga jadilah ikhlas dalam seluruh gerakan-gerakan yang rutinitas sekalipun.

Maka sebaliknya yang lebih dominan atas dirinya cinta terhadap dunia, cinta terhadap ilmu-ilmu dunia, kedudukan ataupun pangkat secara umum, adalah kepada selain الله سبحانه و تعالىٰ, maka demikian pula akan menjadikan seluruh gerak kehidupannya sehari-hari untuk meraih sifat-sifat tersebut, akan tercermin pada sifat-sifat tersebut. Sehingga tidak selamat satu ibadah pun, baik berupa puasa, sholat atau selain itu semua, kecuali sangat jarang. Maksudnya tidak selamat dari keikhlasan, terbelenggu pada kekangan riya, kekangan sumah, kekangan jabatan, kedudukan, dan seterusnya.

Lalu apa solusinya, apa obatnya, apa resepnya agar kita bisa hilang dari belenggu ini ?

Penulis hafidzohullahutaala menuliskan disini, obat atau resep mujarab agar bisa ikhlas adalah memupus segala harapan-harapan dunia, memupus segala kesenangan-kesenngan syahwat, mengekang ketamakan terhadap dunia, dan mengusahakan agar hati selalu terfokus terhadap akhirat. Hal ini nampak dimana dia bisa dominan dalam hatinya, yaitu memurnikan dan mengusahakan segala aktifitasnya mengharap kebahagiaan akhirat. Karena dengan hal itulah akan mudah ikhlas. Berapa banyak amalan yang seorang capek dan dirinya menganggap ikhlas mengharap wajah Allah, maka malah sebaliknya dia menjadi orang-orang yang tertipu, karena tidak menyadari sisi yang merusaknya, sisi yang menghancurkan ikhlasnya. Berapa banyak dari manusia yang berpeluh keringat dan bersemangat di dalam beribadah, tetapi karena tidak ada ikhlas di dalam dadanya, tidak ada ikhlas yang membarengi amal ibadah tadi, sehingga ibadahnya tidak diterima di sisi الله سبحانه و تعالىٰ.

Dicontohkan oleh Syaikh di sini, tentang gambaran orang yang menganggap dirinya telah sanggup ikhlas, telah mampu ikhlas, padahal ternyata dia tertipu dengan amalannya. Sebagaimana diriwayatkan dari sebagian salaf, bahwasanya salah seorang diantara mereka sholat dan senantiasa di shaf yang pertama, shaf awal, namun terlambat pada suatu hari dari sholat, sehingga dia harus sholat di shaf yang kedua, lalu diliputi rasa malu terhadap manusia, karena manusia melihatnya di shaf yang kedua, maka dia sekarang mengetahui bahwa kebahagiannya selama ini di dalam dia sholat di shaf yang pertama adalah karena sebabnya pandangan manusia kepadanya. Artinya bahwa dia masih beribadah selama ini, sholatnya selama ini dikerjakan adalah mencari pandangan manusia, bukan murni mencari pandangan الله سبحانه و تعالىٰ. Dalam arti, harusnya jika memang dia mencari pandangan Allah, karena memang sebab udzurnya syari sehingga menyebabkan terlambatnya sholat, harusnya tidak menjadikan dia kemudian malu untuk mengerjakan amal sholeh, karena tidak ada malu di dalam amal sholeh. Kalau kita ingin melakukan kebaikan, maka kita harus segera melakukannya, berlomba-lomba untuk menggapainya, bukan malu, sehingga tidak ada malu bagi seseorang untuk bertanya tentang ilmu, tidak boleh seorang malu untuk mengakui kebodohannya, tidak boleh seorang malu untuk menghilangkan kebodohannya dengan belajar, menghadiri majelis ilmu dan seterusnya. Dan ini adalah perkara yang kecil lagi rumit. Artinya banyak orang yang menganggap remeh, mengabaikan, karena saking kecilnya perkara ini. Ghomidh karena rumit, samar, hampir-hampir orang-orang tidak menyadarinya, bahwa perkara ini ada pada dirinya, mungkin terkadang orang rajin karena bertamu di rumah orang, sholat di shaf pertama, rajin beribadah, sholat malam, terkadang orang rajin beribadah karena banyak orang yang melihatnya, terkadang seseorang rajin melakukan ibadah karena ada mertuanya dan seterusnya.

Sedikit sekali dari amal-amal sholeh yang selamat dari keikhlasan dan amal-amal yang semisalnya. Dan sedikit sekali orang yang perhatian menyadari akan hal ini, kecuali orang yang telah الله سبحانه و تعالىٰ beri taufik kepadanya. Dan orang-orang yang lalai itu akan melihat kebaikan-kebaikan mereka di dunia pada hari kiamat sebagai keburukan, sebagai amal kejelekan. Dan mereka lah yang dimaksud dalam firman Allah:

QS Az-Zumar 47-48:

بِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ (47) وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (48)

Dan pada hari kiamat itu jelaslah bagi mereka dari Allah apa-apa yang belum pernah mereka perkirakan, dan jelaslah bagi mereka keburukan dari apa-apa yang telah mereka kerjakan.

QS Al-Kahfi 103-104:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (104)

Katakanlan, maukah kalian kami kabarkan tentang orang-orang yang paling merugi amalan mereka, yaitu orang-orang yang telah sia-sia usaha mereka di dunia, sedang mereka menyangka telah mengerjakan sebaik-baiknya.

Betapa beratnya ikhlas, betapa susahnya untuk mengapai ikhlas, sehingga bagi siapa saja untuk terus belajar ikhlas, kemudian berusaha untuk mengaplikasikannya, melatih diri untuk senantiasa ikhlas, membiasakannya bermajelis bersama mereka orang-orang yang ikhlas, yaitu orang-orang yang beramal bukan hanya di musim amal, tetapi orang-orang yang beramal pada setiap musimnya, bukan hanya musim ramadhan kemudian mereka beribadah, karena mereka adalah hamba Allah sepanjang tahun, mereka hamba Allah 24 jam, sehingga mereka berusaha menjadi orang-orang yang senantiasa ikhlas, senantiasa mengamalkan ibadah pada setiap saatnya karena الله سبحانه و تعالىٰ.

Demikian, ikhwani fiddin wa akhawati fillah. Semoga الله سبحانه و تعالىٰ memberikan taufik bagi kita untuk bisa ikhlas dalam ucapan dan perbuatan.

Wallahualam bishowab.
  
Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)


TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #005
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #4
Ikhlas Bagian 4: Beberapa Petuah Salaf Tentang Ikhlas🌴
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc

Mu'allif Syaikh DR Ahmad Farid حفظه الله, menyajikan beberapa petuah salaf yang penting untuk kita cermati, antara lain:

1Berkata Imam Yaqub

Imam Yaqub berkata, Orang yang Ikhlas itu adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana menyembunyikan keburukan-keburukannya".

Sebagaimana dalam hadits yang disebutkan Nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diantara 7 golongan yang dijamin untuk mendapatkan naungan pada hari tidak ada naungan kecuali naungan الله سبحانه و تعالىٰ, mereka itu diantaranya adalah: Seseorang yang bershodaqoh, lalu menyembunyikannya, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.


2. Berkata Imam Susi

"Ikhlas itu adalah tidak memandang diri telah ikhlas, karena barang siapa telah memandang pada keikhlasannya itu ikhlas, sungguh ikhlasnya itu masih membutuhkan ikhlas yang lain".

Jika orang menganggap dia telah ikhlas, maka ia masih membutuhkan ikhlas yang lain. Karena hakekatnya dia belum ikhlas.
Syaikh mengomentari, apa yang disebutkan oleh Imam Susi tadi adalah sebagai isyarat tentang pembersihan amal, pensucian amal", dari apa ? dari ujub dalam perbuatan. Membersihkan amal dari ujub di dalam perbuatan, karena ujub itu menyeret seseorang pada ketertipuan. Kalau orang sudah ujub, sehingga berbangga dengan amal sholehnya, justru akan merusak amal sholehnya. Karena sesungguhnya orang yang memandang dan mengangap melihat dirinya telah ikhlas pada keikhlasannya, berarti itu adalah suatu ujub, berbangga diri dengan amal sholehnya. Ujub adalah katagori dari perusak-perusak keikhlasan. Sedangkan amal yang ikhlas itu adalah amal yang bersih dari segala perusak-perusaknya.

3Berkata Imam Ayyub

"Mengikhlaskan segala niat bagi orang yang beramal itu lebih sulit baginya dari pada amal itu sendiri".

Sebagian lagi mengatakan "Ikhlas sesaat, itu adalah keselamatan abadi".
Orang kalau bisa ikhlas walaupun sesaat, itu keberuntungan selama-lamanya, karena amal sholeh ini akan menjadi penolongnya nanti di hari kiamat. Akan tetapi ikhlas itu sulit dan betapa sulitnya ikhlas itu.

Dikatakan kepada Sahal, "Apakah yang paling berat itu ?". Iya berkata Ikhlas. Karena bagi jiwa itu tidak ada bagian untuk ikhlas, bagian ruang untuk keikhlasan, seolah jiwa ini selalu mengarah kepada keburukan. Sebagaimana firman Allah, Sesungguhnya jiwa itu senantiasa mengarahkan kepada keburukan. Sehingga seolah-olah di sana tidak ada ruang, tidak ada space untuk ikhlas. Jiwa selalu mengarah kepada tidak ikhlas. Ini dikatakan oleh Sahl, ketika ditanya apa yang berat bagi jiwa manusia itu. Yang paling berat bagi jiwa manusia itu adalah ikhlas.

Berkata Fudhail bin 'Iyadh رحمه الله تعالى   , "Meninggalkan amal karena manusia riya, begitu pula beramal karena manusia itu pun juga syirik". Lalu apa yang selamat ? Yang ikhlas itu adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya, dari riyadan juga dari syirik. Meninggalkan amal karena manusia itu riya, karena sejatinya orang itu tidak perlu mengurungkan amal sholeh karena sebab manusia. Rasulullah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, Barang siapa yang mencari ridho Allah, dengan sebab mencari ridho Allah itu menyebabkan manusia murka kepadanya, maka Allah akan ridho kepadanya dan Allah akan menjadikan manusia ridho kepadanya". Namun sebaliknya, "barang siapa yang mencari ridho manusia, dan karena mencari ridho manusia tadi menyebabkan kemurkaan Allah, maka Allah murka kepadanya dan Allah akan jadikan manusia murka kepadanya".

Balasan itu tergantung amal perbuatan, karena seseorang mencari kebaikan, mencari keridhoan Allah, Allah membalas dengan menjadikan manusia ridho kepadanya. Sebaliknya, karena mencari kemurkaan Allah ditukar dengan mencari keridhoan manusia, balasannya adalah dia mendapatkan kemurkaan manusia. Sedangkan beramal karena manusia adalah syirik. Keduanya adalah syirik ashghor, riyasyirik ashghor syirik disini pun syirik ashghor. Sedangkan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya, dari riya' dan dari syirik, dan semoga الله سبحانه و تعالىٰ  mengkaruniakan kepada kita ikhlas di dalam semua ucapan dan perbuatan kita.

WaLLahu'alam bishshowab.

Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)


TAZKIYATUN-NUFUS 
Halaqoh #006
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah#5
Ikhlas Bagian 5: Keutamaan Niat Ikhlas🌴
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc

Mu'allif (Penulis) Syaikh DR Ahmad Farid  حفظه الله, membawakan hadits dari riwayat Umar bin Khothob  رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه , bahwasanya beliau mengatakan bahwa: Seutama-utama amal adalah:
1.         Menunaikan apa yang الله سبحانه و تعالىٰ  fardhukan,
2.         Warayaitu meninggalkan apa yang الله سبحانه و تعالىٰ  haramkan
3.         Niat yang benar dalam hal meraih pahala di sisi الله سبحانه و تعالىٰ .

Umar bin Khathab  رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه , mengatakan bahwa yang paling utama dari semua amalan adalah melaksanakan apa yang الله سبحانه و تعالىٰ  fardhukan, karena fardhu tentu lebih utama dari pada yang sunnah, karena kaitannya dengan fardhu dan sunnah ini diantara kita mungkin terjebak, lebih mendahulukan yang sunnah dari pada yang fardhu, bahkan lebih mendahulukan  mungkin yang mubah.

Diantara ibadah fardhu yang hilang dari kita adalah tholabul ilmi, kita jarang menyadarinya bahwa ini adalah ibadah fardhu, dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu syari. Insya Allah ada bab yang khusus membahas keutamaan ilmu syari.

Diantaranya yang kadang kita terjebak dalam perkara antara yang fardhu dan bukan fardhu dan lebih mendahulukan yang bukan fardhu adalah masalah infak atau shodaqoh. Rasulullah bersabda: Dinar/Uang/Harta yang kau infakkan di jalan الله سبحانه و تعالىٰ  di jalan Jihad, Dinar yang kau infakkan kepada orang-orang miskin dan dinar yang kau infakkan kepada keluargamu yang paling besar pahalanya adalah yang kau infakkan kepada keluargamu.

Hal ini karena menafkahi anak, istri, keluarga, kerabat yang fakir yang tidak mampu dan kalau kita mampu adalah kewajiban bagi kita, menafkahi anak dan istri adalah kewajiban bagi seorang suami, sehingga ini lebih afdhol, lebih utama karena ini fardhu, ketimbang infak kepada fuqoro, infak kepada miskin yang bernilai pahala sunnah. Maka infak kepada keluarga itu lebih utama dari pada infak kepada fuqoro, karena ini termasuk nafaqoh wajib.

Diantara yang kadang kita terjebak adalah dalam masalah tholabul ilmi, padahal Nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  sallaLLah hu 'alaihi wassallam bersabda, bahwa Menuntut ilmu itu kewajiban atas setiap muslim. Dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu syari. Bahkan murojaahnya, menghapalnya, mencatatnya, mengulang-ulang kembali materi yang telah dipelajarinya bagian dari fardhu. Jangan pernal lupa, bahwa ini adalah ibadah fardhu. Maka kita harus lebih mengerahkan segala waktu kita untuk tholabul ilmi.

Kemudian yang kedua, seutama-utama yang dikatakan oleh Umar bin Khatab  رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه , Bersikap Waraatau meninggalkan apa-apa yang الله سبحانه و تعالىٰ  haramkan. Karena setiap apa yang الله سبحانه و تعالىٰ  haramkan adalah pasti bagi hambanya mampu untuk meninggalkan. Berbeda pada perintah, sebuah perintah adalah ditunaikan sesuai dengan kadar kemampuan. Bertaqwalah kalian kepada الله سبحانه و تعالىٰ  sesuai kadar kemampuan. Berbeda dengan sesuatu yang الله سبحانه و تعالىٰ  haramkan, sesuatu yang الله سبحانه و تعالىٰ  haramkan ini pasti hambanya mampu untuk meninggalkannya.

Kata Nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, Dan apabila aku melarang kalian terhadap sesuatu, maka tinggalkanlah. Maka berarti konteksnya bisa dipahami bahwa, semua yang الله سبحانه و تعالىٰ  haramkan dan semua yang Nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ haramkan pasti kita mampu meninggalkannya. Berbeda dengan perintah, maka sesuai dengan kemampuan. Orang tidak mampu sholat berdiri, maka dia sholat dalam kondisi duduk, tidak mampu duduk maka dengan kondisi berbaring, tidak sanggup berbaring maka dalam kondisi isyarat. Kalau tidak mampu disholati.

Demikian dalam hal larangan, pasti semua bisa meninggalkannya. Maknanya adalah, apapun yang الله سبحانه و تعالىٰ  haramkan, pasti bisa ditinggalkan. Sehingga ketika seseorang ingin berbuat zina, pasa saat itu pula dia mampu untuk meninggalkannya, untuk tidak berbuat zina, dan seterusnya, apa yang الله سبحانه و تعالىٰ  haramkan pasti mampu untuk ditinggalkan.

Dan ketiga yang dikatakan oleh Umar  رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه , Dan seutama-utama amal adalah niat yang benar untuk meraih pahala di sisi الله سبحانه و تعالىٰ . Karena tanpa niat yang benar, maka pahala tidak akan bisa diraih, sehingga amal sebesar apapun tanpa niat yang benar karena الله سبحانه و تعالىٰ , maka kita tidak akan bisa meraihnya. Oleh karena itu niat yang benar adalah seutama-utama amal. Dan niat itu letaknya di hati.

Berkata sebagian para salaf, Berapa banyak amal yang kecil, menjadi besar dikarenakan niat. Mungkin amalnya adalah sekedar menyingkirkan duri di jalan, tapi karena niatnya benar, karena niatnya ikhlas karena الله سبحانه و تعالىٰ , menyingkirkan gangguan bagi kaum muslimin bagi para pengguna jalan, tanpa pamrih, tanpa ingin ada balas jasa atau balas budi, maka itu di nilai besar di sisi الله سبحانه و تعالىٰ . Meskipun hanya sekedar menyingkirkan duri di jalan, gangguan di jalan.

Dan berapa banyak amal yang besar menjadi kecil dikarenakan niat, ibadah jihad, ibada haji yang membutuhkan modal besar, menjadi kecil nilainya tatkala tidak dibarengi niat yang ikhlas. Jihad dengan harta dan jiwa, bersimbah darah, bahkan mungkin menemui kematian, tapi kalau tidak niat yang benar, yang ikhlas karena الله سبحانه و تعالىٰ , maka tidak bernilai pahala.

Tholabul ilmi, menuntut ilmu, keutamaan yang besar, ibadah yang besar, kewajiban yang besar, tapi kalau tidak dibarengi niat yang benar karena الله سبحانه و تعالىٰ , maka menjadi sirna pahalanya, berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Tapi niat sekecil apapun, bahkan mungkin perkara-perkara mubah, perkara-perkara duniawi, rutinitas-rutinitas sehari-hari, makan, minum, ini adalah perkara yang mubah, tidak berpahala, tapi karena niat yang benar, agar ibadahnya semakin kuat, agar mampu melaksanakan ketaatan kepada الله سبحانه و تعالىٰ  yang sempurna denfan fisik yang optimal dan prima. Maka disaat itu  rutinitas yang mubah, perkara duniawi, rutinitas perkara duniawi menjadi bernilai pahala disisi الله سبحانه و تعالىٰ , karena niat yg benar. Maka disinilah betapa pentingnya niat.!!

Yanya bin Abi Katsir mengatakan, Belajarlah niat, pelajarilah niat, karena sesungguhnya niat itu lebih menyampaikan ke tujuan dari pada amal!!.  Amal mungkin bisa tidak sampai kepada الله سبحانه و تعالىٰ , tidak diterima jika tidak ikhlas. Tetapi niat seorang berazam, bertekad ingin beramal, hanya sekedar niat, niat kebaikannya sudah dicatat sebagai pahala, di sisi الله سبحانه و تعالىٰ . Maka pelajarilah niat, karena sesungguhnya niat itu lebih menyampaikan kepada tujuannya. Mendapatkan pahala di sisi الله سبحانه و تعالىٰ .

Namun, apakah niat itu harus dilafadzkan ? diungkapkan, dibeberkan dan diucapkan. Ada satu riwayat yang disebutkan oleh Penulis, dari Ibnu Amar  رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه , Beliau mendengar seseorang ketika sedang ihrom berkata ALLahuma inni uriidul hajja wal umrota” “Ya Allah, aku hendak berhaji dan ber-umroh, maka Ibnu Umar  رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه  berkata, Apakah engkau hendak memberi tahu orang lain ?apakah engkau hendak mengabarkan orang lain ?. Hal ini karena niat adalah maksud hati, kehendak hati, sehingga tidak perlu dilafadzkan. Maka tidak perlu dilafadzkan, dalam ibadah apapun. Namun disyariatkan dalam ibadah haji dan umroh untuk mengucapkan, Labbaik ALLahumma labbaik, labbaik allahuma bi hajatinatau labbaik Allahumma bi umrotinatau ketika haji qorin “  labbaik allahuma bi umrotin wa hajjatin. Dan ini yang dikenal dengan istilah ihlal atau talbiyah (bukan melafadzkan niat).

Semoga ini bisa dipahami dan memberikan faedah bagi kita semua akan pentingnya niat. Sehingga dalam semua aktivitas baik yang bernilai mubah /perkara duniawi, apalagi yang bernilai ibadah, maka seyogiyanya bagi kita untuk menghadirkan niat. Karena begitu pentingnya niat dan urgensinya niat itu.

Semoga الله سبحانه و تعالىٰ  memberikan taufik kepada kita untuk meluruskan niat-niat kita pada setiap ibadah-ibadah yang kita lakukan.  Amiin.

WaLLahu alam bishowab.

Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)


TAZKIYATUN-NUFUS 📚
Halaqoh #007
Bab 1: Ikhlas dan Mutabaah #6
Mutabaah Sunnah Rasul
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc

Bismillahirrohmaanirrohiim
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh

Alhamdulillahi hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fiih, kamayuhibbu robbunaa wayardho, wa-asyhadu allaa ilaaha illallah wahdahulaa syariikalah, wa-asyhaduanna Muhammadan abduhu wa rosuuluh, amma baad.

Ikhwani wa akhawati fillah rohimani wa rohimakumullau jamian, halaqoh hari ini adalah halaqoh yang ke tujuh, pada poin ikhlas, di mana poin alif adalah membahas secara khusus tentang Ikhlas, sekarang poin yang ba membahas tentang mutabaatus-sunnah, mengikuti sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Mutabaah berarti ala wazni mufaaalah (على وزن المفاعلة), mengikuti wazan (timbangan shorof)  mufaaalah. Yaitu taabaa - yutaabiu - mutaabaatan (تابع - يتابع -متاعبة). Juga bermakna ittabaa - yattabiu - ittibaaan ( اتبع - يتبع -اتباعا) , ittiba. Ittibabi ma'na iqtida(اقتداء) meneladani, mencontoh, mengikut sunnah-sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, baik ucapan, perbuatan ataupun perkara-perkara yang didiamkan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Berkata Syaikh DR Ahmad Farid حفظه الله, Syarat yang kedua agar diterimanya amal adalah agar amal tersebut muthoobiqon, sesuai dengan sunnah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Hal ini sesuai dengan hadits:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ قَالَ ابْنُ عِيسَى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَنَعَ أَمْرًا عَلَى غَيْرِ أَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ.

Dari Aisyah  رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنها, telah bersabda Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, Barang siapa yang mengada-adakan, membuat perkara baru dalam urusan kami (Islam), yang bukan bagian dari agama ini, maka amalan tersebut tertolak

Pada riwayat yang lain, menurut Imam Muslim Barang siapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami, maka amalan tersebut tertolak.

Hadits ini adalah dasar dari dasar-dasar Islam. Sebagaimana hadits, bahwasanya, amal tergantung niat", itu menjadi timbangan, timbangan dalam amalan secara bathin, maka hadits ini adalah timbangan bagi amalan secara lahir. Sebagaimana setiap amalan yang tidak dimaksudkan dengan amal tersebut mengharap wajah الله سبحانه و تعالىٰ , pelakunya tidak mendapatkan pahala sama sekali, demikian pula setiap amalan yang tidak sesuai dengan perintah Allah dan RosulNya, maka amalan tersebut juga roddun ala amilihi (رد على عامله), tertolak.

Artinya bahwa amalan yang tidak ikhlas tidak diterima dan amalan yang tidak  mengikuti sunnah, yang tidak mencontoh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ juga tertolak ( tidak diterima). Karena makna sabda Nabi  ليس علبه أمرنا "laisa alaihi amruna", " tidak di atas perkaranya kami", hal ini menunjukkan bahwa semua amalan dari orang-orang yang beramal, semuanya harus seyogiyanya di bawah ketentuan hukum-hukum syariah. Sehingga hukum-hukum syariah menjadi hakim penentu atas amalan-amalan tersebut, baik berkaitan dengan perintah ataupun larangan-larangan.

Maka barang siapa yang amalnya berjalan di bawah hukum-hukum syariah, sesuai dengan hukum-hukum syariah, maka amalan itu maqbul/ diterima. Dan sebaliknya, barang siapa yang amalannya keluar dari ketentuan itu, maka mardud/ tertolak.

Kemudian Muallif (penulis) melanjutkan, menerangkan hal ini, Allah telah mewajibkan atas kita untuk taat kepada RosulNya صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, QS Al-Hasyr ayat 7:

......وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا.....(7)

Dan apa yang datang dari Rosul kepada kalian, maka ambilah, dan apa yang Rosul larang bagi kalian, maka tinggalkanlah.

Dan الله سبحانه و تعالىٰ  berfirman: QS Al-Ahzaab ayat 36.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى الله وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا(36)

Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila ALLah dan RosuluNya telah  menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan yang lain bagi mereka tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai ALLah dan RosuluNya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.

Artinya orang yang tidak menerima ketentuan ALLah dan RosulNya, tidak beramal dengan ikhlas, dan juga  tidak ittiba' kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, atau masih ada pilihan lain bagi mereka, masih mengikuti hawa, masih mengikuti prasangka, masih mengikuti kira-kira, masih mengikuti perkataan orang yang bertentangan dengan kitabuLLah dan sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, tidak meneladani Nabi, tidak mencontoh Nabi, maka sungguh dia telah sesat yang nyata. Karena ucapan orang yang beriman apabila dipanggil maka akan mengatakan samina wa athona ( kami dengar dan kami taat). 

الله سبحانه و تعالىٰ  telah menjadikan pengikut sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebagai bukti akan kecintaannya kepada الله سبحانه و تعالىٰ.

الله سبحانه و تعالىٰ  berfirman,  QS Ali Imron ayat 31:

.....قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ الله.....(31)

Katakanlah Muhammad, jika kalian mencintai ALLah, maka ikutilah aku, maka الله سبحانه و تعالىٰ  akan mencintai kalian".

Berkata Hasan Al-Basri, Manusia mengaku mencintai ALLah Azza wajalla, lantas ALLah menguji mereka dengan turunnya ayat ini, Katakanlah Muhammad, jika kalian betul-betul mencintai ALLah, maka ikutilan akuyakni Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka ALLah akan mencintai kalian.

Jadi pertanda, bukti kalau seseorang itu mencintai ALLah, adalah mengikuti RosuluLlah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Bukti kalau seseorang itu mencintai, mengagungkan dan memulyakan الله سبحانه و تعالىٰ, maka dia beramal sesuai dengan petunjuk Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Sebagaimana pula Nabi mewasiatkan untuk berpegang teguh dengan sunnahnya, dan juga sunnah khulafaur-rasyidin, para khalifah-khalifah Rasyidin yang 4, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,:

....... فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian, yakni sepeninggal Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka dia akan mendapatkan ikhltilaf yang banyak, (perselisihan yang sangat banyak), maka solusinya kata Nabi, wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnah ku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah dengan gerahammu, (bermakna pegang erat-erat), dan waspadalah kalian dari hal perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap bidah adalah sesat.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Demikian pula hadits ini diriwayatkan oleh Imam Darimi, Ibnu Majah dan Imam Baghowi.

Ittibakepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berarti kita mengikuti dan mencontoh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan. Sehingga apa yang diyakini oleh Nabi juga diyakini oleh kita, apa yang diucapkan oleh Nabi kita contoh pula, apa yang diperbuat oleh Nabi, kita contoh pula. Sebagaimana Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam kaitannya akidah, iman kepada الله سبحانه و تعالىٰ, iman terhadap malaikat, iman terhadap kitab-kitab الله سبحانه و تعالىٰ, iman terhadap Rosul-rosul, iman terhadap hari akhir, iman terhadap qodho dan qodar, maka keyakinan ini harus dibangun di atas keyakinan yang diyakini oleh RosuluLlah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Bukan semata-mata mendahulukan akal, sehingga yang tidak sesuai dengan akal justru dimentahkan, dibuang jauh-jauh. Jangan sampai justru mengikuti dan mendewakan hawa nafsu, sehingga yang tidak sesuai dengan keinginan atau hawa nafsunya dimentahkan dan dibuang jauh-jauh. Karena berpegang teguh dengan sunnah Rosul adalah satu-satunya jalan keselamatan. Ittiba, berpegang teguh dengan sunnah Rosul  adalah satu-satunya jalan keselamatan.

Demikian pula kita dalam berucap, selalu berusaha mengikuti dan meneladani Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Demikian pula di dalam berbuat, selalu berusaha dan mengikuti yang diamalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.  Jika ada amalan atau perbuatan yang meskipun itu sudah lazim di masyarakat, sudah menjamur di tengah-tengah masyarakat, namun tidak dicontohkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka jangan segan anda mengatakan tidak, karena lebih baik anda dicampakkan dijauhkan dari masyarakat, daripada anda dijauhkan dari surga الله سبحانه و تعالىٰ. Karena hakekatnya tetap berpegang teguh dengan sunnah Nabi adalah kesuksesan, jalan keselamatan.

Hal ini sebagaimana perkataan Imam Zuhri, Berpegang teguh dengan sunnah Nabi adalah keselamatan. Karena sunnah itu ibarat perahu Nabi Nuh عليه سلم, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Imam Malik, Sunnah itu ibarat perahunya Nuh عليه سلم, barang siapa yang naik, maka dia sukses, dia selamat dari petaka, dan barang siapa enggan, tidak naik perahu tersebut, maka dia binasa.

Kalau anda bayangkan, pahami betul-betul perkataan Imam Malik ini, maka sangat bisa dipahami, bahwa sunnah adalah seperti perahunya Nabi Nuh عليه السلام, dimana tatkala itu terjadi banjir bandang yang begitu besar, air turun dari atas langit, semua sumber-sumber air memancarkan air nya, sehingga bertemu dalam suatu titik, dan menjadilah semuanya banjir seluruh jagat raya ini. Tidak ada yang akan bisa selamat kecuali dengan menaiki perahunya Nabi Nuh عليه السلام.

Maka demikianlan kita hidup pada zaman ini, tidak ada yang bisa menyelamatkan kita dari semua fitnah shubhat ataupun fitnah syahwat. Fitnah shubhat, kerancuan dalam berfikir, kecuali dengan kembali kepada sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ibarat kita mengendarai atau numpak perahu Nabi Nuh عليه سلم, tidak ada jalan lain kecuali harus numpak perahu itu, tidak ada jalan lain kecuali harus ittibadengan sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Berkata Sufyan, Ucapan tidak diterima kecuali dengan amalan (dipraktekan), dan perkataan dan perbuatan tidak akan istiqomah, tidak akan langgeng, kecuali didasari dengan niat (niat yang shalihah), dan tidak akan istiqomah (tidak akan lurus), perkataan, perbuatan dan niat, kecuali dengan mengikuti sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Perkataan terakhir adalah perkataan Ibnu Syaudzab, Sesungguhnya diantara nikmat ALLah  atas pemuda, yaitu apabila dia beribadah dengan diberi taufik oleh الله سبحانه و تعالىٰ  untuk mengikuti jalannya seorang ahli sunnah, sehingga seorang ahli sunnah itu akan membawanya kepada sunnah. Ini adalah termasuk nikmat yang begitu besar atas seorang pemuda. Terlebih kita ketahui bahwa kebanyakan orang yang punya pemikiran terlalu banyak menyimpang dari kitabuLLah dan sunnah Rasulullah adalah para pemuda, karena jauhnya mereka dari pemahaman agama.

Maka jalan sukses untuk kita beragama adalah untuk kembali kepada Dien ini, kembali belajar ilmu syari, karena inilah satu-satu nya untuk kita lebih mengenal agama Islam secara mendalam, sehingga hati kita semakin bersih dari segala kotoran yang mengotorinya, hati kita semakin jernih karena ilmu sebagai penjaga atas hati kita, yang menyinarinya, yang membersihkannya dan juga yang menangkis segala virus, kotoran ataupun amal-amal yang bisa mengotorinya.

Demikian semoga berfaedah dan bermanfaat.
Haada maakulu lakum walhamdulillahirobbil alamin.

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
  
Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)















Tidak ada komentar:

Posting Komentar