TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #001
Bab Muqadimah Tazkiyatun Nufus
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Assalamu'alaikum warohmatuLLahi
wabarokatuh
Alhamdulliahi washsholatu wassalamu
'ala RosuliLLah, wa'ala 'alihi wa shohbihi wa man tabi'ahum bihuda ila yaumil
qiyamah. 'Amma ba'ad
AlhamduliLLah kita bersyukur kepada
الله سبحانه و تعالىٰ yang dengan segala kenikmatanNya ALLah mudahkan kita untuk
kembali mengawali mempelajari diinuLLah, khususnya yang berkaitan dengan
tazkiyatun nufus, kaitannya dengan ilmu pensucian jiwa, bersihnya hati.
Penting untuk dipelajari, karena
berkaitan dengan hati, jika hati ini baik, maka baiklah seluruh anggota badan
dan apabila hati ini rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan yang lainnya
pula. Sehingga, sebagaimana seseorang perhatian terhadap tampilan lahiriahnya,
dia juga harus perhatian terhadap hatinya, yang sangat penting, karena ini
adalah tempat dimana الله سبحانه و تعالىٰ melihat baik buruknya seseorang.
Hadits Riwayat Muslim:
- وَعَنْ أبي هُريْرة عَبْدِ الرَّحْمن بْنِ
صخْرٍ رضي الله عَنْهُ قال : قالَ رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم ، وَلا إِلى
صُوَرِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعمالِكُمْ » رواه مسلم .
Dari Abu Hurairah, yaitu Abdur Rahman bin Shakhr رضي
الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه
katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda:“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu tidak melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula
kepada bentuk rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hatimu sekalian.”
Oleh karena itu maka kita penting
sekali untuk memperbaiki jiwa ini, membenarkannya, meluruskannya atau itu yang
dikenal dengan tazkiyatun nufus.
الله سبحانه و تعالىٰ berfirman dalam QS:
Asy-Syams 9-10:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا ((10
Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan
sungguh merugi orang yang mengotorinya.
Demikian pula nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ
خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا
"Ya Allah berikan jiwa ini taqwanya, sucikan ya Allah,
Engkau adalah sebaik-baik yang mensucikan jiwa ini."
Maka, penting bagi kita untuk
mempelajari tazkiyatun nufus, yaitu mensucikannya dan membersihkannya dari
segala kotoran yang mengotorinya. Dan dengan itu akhirnya jiwa siap untuk
menyambut seruan Robb-nya. Untuk siap menjadi yang beruntung di dunia dan di
akhirat.
Kitab Tazkiyatun Nufus ini yang
awalnya ditulis oleh Syaikh DR Akhmad Farid berjudul, "Daqoiqul Akhbar Fi Roqoiqil Akhyar (دقائق الأخبار في رقائق الأخيار ) yang kemudian akhirnya pertama kali dicetak dengan judul
Tazkiyatun Nufus, kemudian setelah waktu yang lama Syaikh melihat kembali
adanya beberapa kekurangan, maka diluruskan dengan beberapa penambahan dan
diganti dari riwayat-riwayat yang dho'if ke riwayat-riwayat yang shohih, jika
sudah ada riwayat dari Bukhori dan Muslim, maka mencukupkan dengan riwayat
Bukhori dan Muslim dan meninggalkan riwayat-riwayat yang sebelumnya.
Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus
(penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)
TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #002
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #1
Ikhlas Bagian 1
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Ikhlas dan i'tiba mengikuti
nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah dua syarat untuk diterimanya
amal. الله سبحانه و تعالىٰ tidak menerima amalan dari amal-amal sehingga terpenuhi di
dalam amal tersebut dua syarat, yaitu:
1.
Ikhlas yaitu syarat bathin.
2.
Mengikuti sunnah Rosulullah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, yaitu syarat dhohir,
Jadi, الله سبحانه و تعالىٰ tidak akan
menerima amalan seorang hamba, sehingga dia betul-betul memurnikan amalan
tersebut hanya karena الله سبحانه و تعالىٰ, ikhlas. Ini
perkara penting di dalam tazkiyatun nufus, bahwa terkadang seorang mengabaikan
amalan yang dilakukannya, apakah sudah ikhlas atau belum, dia tidak
memperhatikannya, padahal seharunya dia perhatian, bahwa ikhlas adalah syarat
mutlak agar amalannya diterima, ini syarat bathin karena yang tahu hanya الله سبحانه و تعالىٰ.
Sedangkan yang kedua adalah dengan
mengikuti sunnah Rosulullah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, ini dikatakan syarat dhohir
karena nampak. Dan meskipun sudah ikhlas namun tidak mengikuti sunnah
Rosulullah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka bisa tertolak.
Dalil: QS Al-Muluk 2:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang paling
baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun,
Yang dimaksud dengan "yang
paling baik amalannya", adalah (Fudl bin Iyyadh) mengatakan: "yaitu
yang paling ikhlas dan paling benar"
Sesungguhnya amalan, apabila ikhlas
tapi tidak benar, maksudnya tidak mutaba'ah yakni tidak mengikuti sunnah
RasuluLLah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka tidak diterima. Dan juga
berlaku sebaliknya. Meskipun benar yakni mengikuti sunnah RasuluLLah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tetapi tidak ikhlas, juga tidak
diterima.
Oleh karena itu الله سبحانه و تعالىٰ mengatakannya dalam QS Al-Kahfi 110:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan dalam beribadat kepada
Tuhannya dengan suatu apapun."
Yang dimaksud dengan amal sholeh
disini adalah yang berkesuaian dengan sunnah. Maksudnya mengikuti sunnah
RosuluLLah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Yang dimaksud dengan janganlah ia mempersekutukan dalam beribadat kepada
Tuhannya dengan suatu apapun adalah ikhlas.
QS An-Nisaa 125:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ
لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan
dirinya kepada Allah, dan
diapun berbuat ihsan.
Maksud dari menyerahkan dirinya
kepada Allah adalah ikhlas
Yang yang dimaksud dengan ihsan
adalah mutaba'ah, yaitu mengikuti sunnah RasuluLLah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin
Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis:
Syaikh DR Ahmad Farid)
TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #003
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #2
Ikhlas Bagian 2: Pengertian Ikhlas
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Mu'allif Syaikh DR Ahmad Farid حفظه الله mengatakan "Ikhlas itu adalah
memurnikan tujuan dalam bertaqorrub kepada الله dari hal-hal yang
mengotorinya".
Terkadang ibadah itu meski niatnya
sudah benar, terkadang dicampuri dengan hal-hal yang mengotorinya, seperti
riya', ingin dipuji, ingin didengar atau sum'ah, dan seterusnya. Hal-hal inilah
yang dikatakan sesuatu yang mengotorinya.
Ada juga yang mengatakan
"Ikhlas adalah menjadikan الله sebagi satu-satunya tujuan dalam segala bentuk
keta'atan". Memurnikan maksud atau tujuan di dalam keta'atan kepada الله سبحانه و تعالىٰ, hanya untuk الله سبحانه و تعالىٰ, atau ini
tepatnya adalah ikhlas yang lawan dari syirik. Bahwa ikhlas itu adalah
memurnikan ibadah semata-mata hanya untuk الله سبحانه و تعالىٰ.
Yang lain mengatakan "Ikhlas
adalah mengabaikan/melupakan pandangan makhluk dengan senantiasa dan
berkonsentrasi memandang kepada pandangan Allah yang maha pencipta. Jadi disini
berarti sesorang yang ikhlas itu adalah orang yang tidak mencari pandangan
manusia, tidak mencari sebutan manusia, akan tetap beramal walaupun dipuji
ataupun dicela. Pujian tidak menjadikan semakin semangat untuk beramal sholeh,
cela'an tidak membuat surut untuk beramal sholeh. Karena yang dia pandang dan
dia cari adalan pandangan الله سبحانه و تعالىٰ, bukan
pandangan makhluk. Sebagaimana ungkapan para ulama رحمهم الله تعالى, bahwa ridho manusia itu tujuan
yang tidak akan pernah tercapai. Ridho manusia suatu tujuan yang tidak pernah
ada tepinya. Demikian pula karena karakter dari manusia itu selalu memuji atau
mencela. Sebagaimana ungkapan lainnya, bahwa "Ucapan manusia itu tidak ada
habisnya".
Kemudian Syaikh mengatakan lagi,
bahwa "Ikhlas adalah syarat diterimanya amal sholeh. Dan amal sholeh itu
amal yang berkesesuaian dengan sunnah Rosulullah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, itu baru dikatakan amal sholeh.
الله سبحانه و تعالىٰ telah memerintahkan kita semua untuk senantiasa ikhlas, QS
Al-Bayyinah 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.
Demikian pula Nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menerangkan tentang bagaimana
sebenarnya jika suatu pekerjaan atau suatu perbuatan, bahkan perbuatan yang
mulia dan tinggi pahalanya disisi الله سبحانه و تعالىٰ seperti
jihad, jika niatnya adalah semata-mata mencari sebutan, entah gelar pahlawan
ataupun yang lainnya, atau hanya sekedar upah atau bayaran.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَرَأَيْتَ رَجُلًا
غَزَا يَلْتَمِسُ الْأَجْرَ وَالذِّكْرَ مَالَهُ فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ فَأَعَادَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يَقُولُ لَهُ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ ثُمَّ قَالَ
إِنَّ الله لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا
وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Dari Abu Umamah Al Bahili, ia berkata: Ada seorang
laki-laki datang kepada Nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ seraya berkata, "Bagaimana pendapat baginda tentang
seseorang yang berperang mengharapkan balasan dan pujian, apa yang ia
dapatkan?" Maka Rasulullah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, 'Ia tidak akan mendapatkan apapun?"
Kemudian orang itu mengulang pertanyaannya —sampai— tiga
kali, dan Rasulullah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawabnya dengan bersabda, "Ia tidak akan
mendapatkan apapun" Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak
akan menerima amalan kecuali yang ikhlas hanya mengharap wajah-Nya"
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Nasa'i, dihasankan oleh 'Iraqi dan dihasankan oleh Imam Albany rahimahullah
dalam Shahihah.
Dalam riwayat yang lain:
Dari Abu Sa'id Al-Khudri رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه berkata, bahwa Rosulullah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pada saat haji wada, bersabda:
نضر الله امْرأ سمع مَقَالَتي فوعاها فَرب حَامِل فقه
لَيْسَ بفقيه ثَلَاث لَا يغل عَلَيْهِنَّ قلب امرىء مُؤمن إخلاص الْعَمَل لله
والمناصحة لائمة الْمُسلمين وَلُزُوم جَمَاعَتهمْ فَإِن دعاءهم مُحِيط من ورائهم
"Semoga
Allah membuat wajah
berseri-seri atau mencerahkannyabagi seseorang
yang mendengar ucapanku, lalu dia memahaminya. Berapa banyak pembawa fikih yang
tidak fakih (tidak mengerti fikih). Tiga perkara yang (karenanya) hati seorang
Mukmin tidak akan ditimpa dengki: Mengikhlaskan amal karena Allah, memberi
nasihat kepada para pemimpin kaum Muslimin dan berpegang kepada jamaah mereka,
karena doa mereka mengelilingi mereka dari belakang mereka."
Ada tiga hal yang hati seorang
mukmin tidak dengki, yaitu:
1.
Mengikhlaskan amal hanya karena الله سبحانه و تعالىٰ
2.
Saling memberikan nasehat kepada para pemimpin kaum
muslimin.
3.
Berpegang teguh bersama jama'ah kaum muslimin.
Hadits hasan shohih ini
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dan diriwayatkan oleh ibnu Qudamah, Imam
Darimi, Imam Bukhori, Imam Ahmad dan dishohihkan oleh Al-Albany.
Dengan tiga perkara ini hati akan
menjadi baik, maka barang siapa yang berakhlak dengan tiga perkara tadi, maka
jika menasehati pemimpin bukan di mimbar-mimbar ataupun di tempat umum,
melainkan secara langsung one by one, ketemu face to face. Ini adalah afdholul
jihaad.
Nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Seutama-utama jihad adalah kalimat
yang benar yang disampaikan kepada pemimpin yang dholim.
dan kalimat yang benar ini
disampaikan dengan cara nasehat. Nasehat itu bukan dibeberkan di tempat-tempat
umum, tetapi disampaikan orang per orang, one by one, empat mata saja.
Dan yang ketiga tadi adalah
berpegang teguh dengan jama'ah mereka. Dengan tiga perkara tersebut maka akan
bersih dari khianat, dengki dan keburukan. Demikian pula kita tahu bahwa
seorang hamba tidak akan bisa lepas dari jeratan syaithon, kecuali dengan
ikhlas.
Sebagaimana firman الله سبحانه و تعالىٰ :
QS : Shod 83
إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Kecuali hamba-hamba Allah yang
diantara nya adalah orang-orang yang ikhlas.
Diriwayatkan, bahwa ada salah
seorang diantara orang yang sholeh, mengatakan kepada dirinya, "wahai
jiwa, wahai jiwa, ikhlaslah, ikhlaslah, maka engkau akan lepas dari belenggu.
Engkau akan bebas, engkau akan selamat, ikhlaslah, maka engkau akan
selamat".
Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin
Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus
(penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)
TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #004
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #3
Ikhlas Bagian 3: Betapa Sulitnya Ikhlas
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Berkata Mu'allif (penulis) Syaikh DR Ahmad Farid حفظه الله, setiap
harapan dari harapan-harapan dunia, setiap bagian dari bagian dunia yang jiwa
menjadi tenang dengannya, yang hati cenderung kepadanya, sedikit atau
banyaknya, apabila telah mencampuri amalan, maka akan mengotori kejernihan
amalan tadi, sehingga hilanglah ikhlasnya.
Dan kita tahu bahwa seseorang itu
terikat, terbelenggu dengan harapan-harapannya, tenggelam dengan
syahwat-syahwatnya. Sedikit sekali dari perbuatan atau ibadahnya yang bisa
lepas dari harapan-harapan dunia dan tujuan-tujuan dunia yang sebentar.
Oleh karena itu ada yang
mengatakan, barang siapa yang selamat sejenak saja, ikhlas mengharap wajah الله سبحانه و تعالىٰ di dalam umurnya, maka dia telah
sukses. Hal ini tentu karena saking agungnya ikhlas, saking beratnya ikhlas,
sehingga banyak sekali orang yang tidak selamat dalam hal ini.
Syaikh mengatakan, hal ini karena
beratnya ikhlas, ikhlas bukan perkara yang mudah, semua kita butuh ikhlas,
semua kita masih harus senantiasa berusaha untuk ikhlas. Seorang 'alim, seorang
penuntut ilmu, seorang penulis, seorang pemateri kajian, seorang yang
beribadah, apapun dia, dia harus senantiasa untuk berusaha ikhlas di dalam
ibadahnya tersebut agar tidak terkotori dengan suatu amalan apapun,
harapan-harapan dunia apapun, karena kalau sudah ada nasiibun/hadzdzun
(bagian-bagian dunia yang mengotorinya) yang akan merusak keilhlasan, yang akan
mengotori keikhlasannya.
Hal ini karena susahnya ikhlas,
beratnya ikhlas dan susahnya mensucikan hati dari segala yang mengotorinya.
Karena kita tahu bahwa, ikhlas itu
adalah mensucikan hati dari segala kotoran-kotoran yang mengotori semuanya,
sedikitnya atau banyaknya. Sampai betul-betul murni dalam memaksudkan
taqorrubnya kepadaالله سبحانه و تعالىٰ, tidak ada
pendorong, tidak ada motivasi, kecuali semata-mata karena ikhlas, mengharap
wajah Allah. Dan hal ini tidak bisa digambarkan, kecuali hanya dari orang yang
cinta kepada الله سبحانه و تعالىٰ, yang sudah
tenggelam cita-citanya, orientasinya mengharapkan kebahagian akhirat dan
akhirat, atau dengan istilah kita akhirat oriented. Jadi akhirat menjadi
orientasi terbesar dan obsesinya untuk sukses, karena kita tahu الله سبحانه و تعالىٰ telah menyatakannya bahwa: “akhirat itu lebih baik dan lebih
kekal”.
Jadi orang yang ikhlas betul-betul
karena kecintaannya kepada الله سبحانه و تعالىٰ, karena dia
telah tenggelam dalam cita-citanya untuk menggapai kebahagian akhirat, sehingga
tidak ada yang diinginkannya, melainkan betul-betul keridhaan Allah, kecintaan
Allah kepadanya, sehingga dunia seolah-olah telah dibuangnya jauh-jauh, tidak
ada tempat dihatinya untuk dunia. Orang bilang dunia di genggamannya, tapi
akhirat di hatinya.
Dimana tidak ada tersisa tempat di
hatinya untuk cinta terhadap dunia. Permisalan untuk orang seperti ini
sekalipun dia dalam hal makan, minum ataupun membuang hajatnya, maka diupayakan
untuk ikhlas amal dan meluruskan niatnya, menshahihkan niatnya.
Kalau belum bisa demikian
keadaannya, untuk berupaya senantiasa ikhlas dalam segala gerak langkah
kehidupannya, ucapan dan yang diperbuatnya, maka pintu keikhlasan telah
tertutup atasnya, kecuali sangat jarang yang bisa memasukinya, kecuali
orang-orang yang Allah berikan rahmat.
Mu’allif juga mengatakan, dan
sebagaimana orang yang telah lebih dominan dalam hatinya kecintaan pada الله سبحانه و تعالىٰ, kecintaan terhadap negeri akhirat, itu akan gerak kehidupannya
sehari-hari, rutinitasnya menjadi cerminan cita-citanya, sehingga jadilah
ikhlas dalam seluruh gerakan-gerakan yang rutinitas sekalipun.
Maka sebaliknya yang lebih dominan
atas dirinya cinta terhadap dunia, cinta terhadap ilmu-ilmu dunia, kedudukan
ataupun pangkat secara umum, adalah kepada selain الله سبحانه و تعالىٰ, maka
demikian pula akan menjadikan seluruh gerak kehidupannya sehari-hari untuk
meraih sifat-sifat tersebut, akan tercermin pada sifat-sifat tersebut. Sehingga
tidak selamat satu ibadah pun, baik berupa puasa, sholat atau selain itu semua,
kecuali sangat jarang. Maksudnya tidak selamat dari keikhlasan, terbelenggu
pada kekangan riya’, kekangan
sum’ah, kekangan jabatan, kedudukan, dan
seterusnya.
Lalu apa solusinya, apa obatnya,
apa resepnya agar kita bisa hilang dari belenggu ini ?
Penulis hafidzohullahuta’ala menuliskan disini, “obat atau resep mujarab agar bisa
ikhlas adalah memupus segala harapan-harapan dunia, memupus segala kesenangan-kesenngan
syahwat, mengekang ketamakan terhadap dunia, dan mengusahakan agar hati selalu
terfokus terhadap akhirat. Hal ini nampak dimana dia bisa dominan dalam
hatinya, yaitu memurnikan dan mengusahakan segala aktifitasnya mengharap
kebahagiaan akhirat. Karena dengan hal itulah akan mudah ikhlas. Berapa banyak
amalan yang seorang capek dan dirinya menganggap ikhlas mengharap wajah Allah,
maka malah sebaliknya dia menjadi orang-orang yang tertipu, karena tidak
menyadari sisi yang merusaknya, sisi yang menghancurkan ikhlasnya. Berapa
banyak dari manusia yang berpeluh keringat dan bersemangat di dalam beribadah,
tetapi karena tidak ada ikhlas di dalam dadanya, tidak ada ikhlas yang
membarengi amal ibadah tadi, sehingga ibadahnya tidak diterima di sisi الله سبحانه و تعالىٰ.
Dicontohkan oleh Syaikh di sini,
tentang gambaran orang yang menganggap dirinya telah sanggup ikhlas, telah
mampu ikhlas, padahal ternyata dia tertipu dengan amalannya. Sebagaimana
diriwayatkan dari sebagian salaf, bahwasanya salah seorang diantara mereka sholat
dan senantiasa di shaf yang pertama, shaf awal, namun terlambat pada suatu hari
dari sholat, sehingga dia harus sholat di shaf yang kedua, lalu diliputi rasa
malu terhadap manusia, karena manusia melihatnya di shaf yang kedua, maka dia
sekarang mengetahui bahwa kebahagiannya selama ini di dalam dia sholat di shaf
yang pertama adalah karena sebabnya pandangan manusia kepadanya. Artinya bahwa
dia masih beribadah selama ini, sholatnya selama ini dikerjakan adalah mencari
pandangan manusia, bukan murni mencari pandangan الله سبحانه و تعالىٰ. Dalam arti,
harusnya jika memang dia mencari pandangan Allah, karena memang sebab udzurnya
syar’i sehingga menyebabkan terlambatnya
sholat, harusnya tidak menjadikan dia kemudian malu untuk mengerjakan amal
sholeh, karena tidak ada malu di dalam amal sholeh. Kalau kita ingin melakukan
kebaikan, maka kita harus segera melakukannya, berlomba-lomba untuk
menggapainya, bukan malu, sehingga tidak ada malu bagi seseorang untuk bertanya
tentang ilmu, tidak boleh seorang malu untuk mengakui kebodohannya, tidak boleh
seorang malu untuk menghilangkan kebodohannya dengan belajar, menghadiri
majelis ilmu dan seterusnya. Dan ini adalah perkara yang kecil lagi rumit.
Artinya banyak orang yang menganggap remeh, mengabaikan, karena saking kecilnya
perkara ini. Ghomidh karena rumit, samar, hampir-hampir orang-orang tidak
menyadarinya, bahwa perkara ini ada pada dirinya, mungkin terkadang orang rajin
karena bertamu di rumah orang, sholat di shaf pertama, rajin beribadah, sholat
malam, terkadang orang rajin beribadah karena banyak orang yang melihatnya,
terkadang seseorang rajin melakukan ibadah karena ada mertuanya dan seterusnya.
Sedikit sekali dari amal-amal
sholeh yang selamat dari keikhlasan dan amal-amal yang semisalnya. Dan sedikit
sekali orang yang perhatian menyadari akan hal ini, kecuali orang yang telah الله سبحانه و تعالىٰ beri taufik kepadanya. Dan
orang-orang yang lalai itu akan melihat kebaikan-kebaikan mereka di dunia pada
hari kiamat sebagai keburukan, sebagai amal kejelekan. Dan mereka lah yang
dimaksud dalam firman Allah:
QS Az-Zumar 47-48:
بِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا
لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ (47) وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ
مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (48)
Dan pada hari kiamat itu jelaslah
bagi mereka dari Allah apa-apa yang belum pernah mereka perkirakan, dan
jelaslah bagi mereka keburukan dari apa-apa yang telah mereka kerjakan.
QS Al-Kahfi 103-104:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (104)
Katakanlan, maukah kalian kami
kabarkan tentang orang-orang yang paling merugi amalan mereka, yaitu
orang-orang yang telah sia-sia usaha mereka di dunia, sedang mereka menyangka
telah mengerjakan sebaik-baiknya.
Betapa beratnya ikhlas, betapa
susahnya untuk mengapai ikhlas, sehingga bagi siapa saja untuk terus belajar
ikhlas, kemudian berusaha untuk mengaplikasikannya, melatih diri untuk
senantiasa ikhlas, membiasakannya bermajelis bersama mereka orang-orang yang ikhlas,
yaitu orang-orang yang beramal bukan hanya di musim amal, tetapi orang-orang
yang beramal pada setiap musimnya, bukan hanya musim ramadhan kemudian mereka
beribadah, karena mereka adalah hamba Allah sepanjang tahun, mereka hamba Allah
24 jam, sehingga mereka berusaha menjadi orang-orang yang senantiasa ikhlas,
senantiasa mengamalkan ibadah pada setiap saatnya karena الله سبحانه و تعالىٰ.
Demikian, ikhwani fiddin wa
akhawati fillah. Semoga الله سبحانه و تعالىٰ memberikan taufik bagi kita untuk
bisa ikhlas dalam ucapan dan perbuatan.
Wallahu’alam bishowab.
Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin
Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus
(penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)
TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #005
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #4
Ikhlas Bagian 4: Beberapa Petuah Salaf Tentang Ikhlas🌴
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Mu'allif Syaikh DR Ahmad Farid حفظه الله, menyajikan beberapa petuah salaf yang penting untuk kita
cermati, antara lain:
1. Berkata Imam Ya’qub
Imam Ya’qub berkata, “Orang yang Ikhlas itu adalah orang
yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana menyembunyikan
keburukan-keburukannya".
Sebagaimana dalam hadits yang
disebutkan Nabi محمد
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diantara 7 golongan yang dijamin untuk mendapatkan
naungan pada hari tidak ada naungan kecuali naungan الله سبحانه و تعالىٰ, mereka itu diantaranya adalah: Seseorang
yang bershodaqoh, lalu menyembunyikannya, sehingga tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.
2. Berkata Imam Susi
"Ikhlas itu adalah tidak
memandang diri telah ikhlas, karena barang siapa telah memandang pada
keikhlasannya itu ikhlas, sungguh ikhlasnya itu masih membutuhkan ikhlas yang
lain".
Jika orang menganggap dia telah
ikhlas, maka ia masih membutuhkan ikhlas yang lain. Karena hakekatnya dia belum
ikhlas.
Syaikh mengomentari, “apa yang disebutkan oleh Imam Susi
tadi adalah sebagai isyarat tentang pembersihan amal, pensucian amal",
dari apa ? dari ujub dalam perbuatan. Membersihkan amal dari ujub di dalam
perbuatan, karena ujub itu menyeret seseorang pada ketertipuan. Kalau orang
sudah ujub, sehingga berbangga dengan amal sholehnya, justru akan merusak amal
sholehnya. Karena sesungguhnya orang yang memandang dan mengangap melihat
dirinya telah ikhlas pada keikhlasannya, berarti itu adalah suatu ujub,
berbangga diri dengan amal sholehnya. Ujub adalah katagori dari perusak-perusak
keikhlasan. Sedangkan amal yang ikhlas itu adalah amal yang bersih dari segala
perusak-perusaknya.
3. Berkata Imam Ayyub
"Mengikhlaskan segala niat
bagi orang yang beramal itu lebih sulit baginya dari pada amal itu
sendiri".
Sebagian lagi mengatakan
"Ikhlas sesaat, itu adalah keselamatan abadi".
Orang kalau bisa ikhlas walaupun
sesaat, itu keberuntungan selama-lamanya, karena amal sholeh ini akan menjadi
penolongnya nanti di hari kiamat. Akan tetapi ikhlas itu sulit dan betapa
sulitnya ikhlas itu.
Dikatakan kepada Sahal,
"Apakah yang paling berat itu ?". Iya berkata “Ikhlas”. Karena bagi jiwa itu tidak ada
bagian untuk ikhlas, bagian ruang untuk keikhlasan, seolah jiwa ini selalu
mengarah kepada keburukan. Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya jiwa itu senantiasa
mengarahkan kepada keburukan”. Sehingga seolah-olah di sana tidak ada ruang, tidak
ada space untuk ikhlas. Jiwa selalu mengarah kepada tidak ikhlas. Ini dikatakan
oleh Sahl, ketika ditanya apa yang berat bagi jiwa manusia itu. Yang paling
berat bagi jiwa manusia itu adalah ikhlas.
Berkata Fudhail bin 'Iyadh رحمه الله تعالى , "Meninggalkan amal karena manusia riya’, begitu pula beramal karena
manusia itu pun juga syirik". Lalu apa yang selamat ? Yang ikhlas itu
adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya, dari riya’ dan juga dari syirik. Meninggalkan
amal karena manusia itu riya’ , karena sejatinya orang itu tidak perlu mengurungkan
amal sholeh karena sebab manusia. Rasulullah محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Barang siapa yang mencari ridho
Allah, dengan sebab mencari ridho Allah itu menyebabkan manusia murka
kepadanya, maka Allah akan ridho kepadanya dan Allah akan menjadikan manusia
ridho kepadanya". Namun sebaliknya, "barang siapa yang mencari
ridho manusia, dan karena mencari ridho manusia tadi menyebabkan kemurkaan
Allah, maka Allah murka kepadanya dan Allah akan jadikan manusia murka
kepadanya".
Balasan itu tergantung amal
perbuatan, karena seseorang mencari kebaikan, mencari keridhoan Allah, Allah
membalas dengan menjadikan manusia ridho kepadanya. Sebaliknya, karena mencari
kemurkaan Allah ditukar dengan mencari keridhoan manusia, balasannya adalah dia
mendapatkan kemurkaan manusia. Sedangkan beramal karena manusia adalah syirik.
Keduanya adalah syirik ashghor, riya’ syirik ashghor syirik disini pun syirik ashghor.
Sedangkan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya, dari riya' dan
dari syirik, dan semoga الله سبحانه و تعالىٰ mengkaruniakan kepada kita ikhlas di dalam
semua ucapan dan perbuatan kita.
WaLLahu'alam bishshowab.
Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin
Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus
(penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)
TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh
#006
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah#5
Ikhlas
Bagian 5: Keutamaan Niat Ikhlas🌴
Ustadz Tauhiddin
Ali Rusdi Sahal, Lc
Mu'allif (Penulis) Syaikh DR Ahmad
Farid حفظه الله, membawakan
hadits dari riwayat Umar bin Khothob رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه , bahwasanya
beliau mengatakan bahwa: “Seutama-utama amal adalah:
1.
Menunaikan apa yang الله سبحانه و
تعالىٰ fardhukan,
2.
Wara’ yaitu
meninggalkan apa yang الله سبحانه و تعالىٰ
haramkan
3.
Niat yang benar dalam hal meraih pahala di sisi الله سبحانه و تعالىٰ ”.
Umar bin Khathab رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه , mengatakan bahwa yang paling utama dari semua amalan adalah
melaksanakan apa yang الله سبحانه و تعالىٰ
fardhukan, karena fardhu tentu lebih
utama dari pada yang sunnah, karena kaitannya dengan fardhu dan sunnah ini
diantara kita mungkin terjebak, lebih mendahulukan yang sunnah dari pada yang
fardhu, bahkan lebih mendahulukan
mungkin yang mubah.
Diantara ibadah fardhu yang hilang dari kita adalah
tholabul ‘ilmi,
kita jarang menyadarinya bahwa ini adalah ibadah fardhu, dan ilmu yang dimaksud
adalah ilmu syar’i. Insya Allah ada bab yang khusus
membahas keutamaan ilmu syar’i.
Diantaranya yang kadang kita terjebak dalam perkara antara
yang fardhu dan bukan fardhu dan lebih mendahulukan yang bukan fardhu adalah
masalah infak atau shodaqoh. Rasulullah bersabda: “Dinar/Uang/Harta
yang kau infakkan di jalan الله سبحانه و تعالىٰ
di jalan Jihad, Dinar yang kau
infakkan kepada orang-orang miskin dan dinar yang kau infakkan kepada
keluargamu yang paling besar pahalanya adalah yang kau infakkan kepada
keluargamu”.
Hal ini karena menafkahi anak, istri, keluarga, kerabat
yang fakir yang tidak mampu dan kalau kita mampu adalah kewajiban bagi kita,
menafkahi anak dan istri adalah kewajiban bagi seorang suami, sehingga ini
lebih afdhol, lebih utama karena ini fardhu, ketimbang infak kepada fuqoro,
infak kepada miskin yang bernilai pahala sunnah. Maka infak kepada keluarga itu
lebih utama dari pada infak kepada fuqoro, karena ini termasuk nafaqoh wajib.
Diantara yang kadang kita terjebak adalah dalam masalah
tholabul ‘ilmi,
padahal Nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sallaLLah
hu 'alaihi wassallam bersabda, bahwa “Menuntut ilmu itu kewajiban atas setiap muslim”. Dan ilmu yang
dimaksud adalah ilmu syar’i. Bahkan muroja’ahnya,
menghapalnya, mencatatnya, mengulang-ulang kembali materi yang telah
dipelajarinya bagian dari fardhu. Jangan pernal lupa, bahwa ini adalah ibadah
fardhu. Maka kita harus lebih mengerahkan segala waktu kita untuk tholabul ‘ilmi.
Kemudian yang kedua, seutama-utama yang dikatakan oleh Umar
bin Khatab رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه , “Bersikap Wara’ atau meninggalkan apa-apa yang الله سبحانه و
تعالىٰ haramkan”. Karena setiap
apa yang الله
سبحانه و تعالىٰ haramkan adalah pasti bagi hambanya mampu untuk meninggalkan.
Berbeda pada perintah, sebuah perintah adalah ditunaikan sesuai dengan kadar
kemampuan. Bertaqwalah kalian kepada الله سبحانه و تعالىٰ sesuai
kadar kemampuan. Berbeda dengan sesuatu yang الله سبحانه و تعالىٰ haramkan,
sesuatu yang الله سبحانه و تعالىٰ
haramkan ini pasti hambanya mampu
untuk meninggalkannya.
Kata Nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Dan apabila aku melarang kalian terhadap sesuatu, maka
tinggalkanlah”. Maka berarti konteksnya bisa dipahami bahwa, semua yang الله سبحانه و تعالىٰ haramkan
dan semua yang Nabi محمد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ haramkan pasti kita mampu meninggalkannya. Berbeda dengan
perintah, maka sesuai dengan kemampuan. Orang tidak mampu sholat berdiri, maka
dia sholat dalam kondisi duduk, tidak mampu duduk maka dengan kondisi
berbaring, tidak sanggup berbaring maka dalam kondisi isyarat. Kalau tidak
mampu disholati.
Demikian dalam hal larangan, pasti semua bisa
meninggalkannya. Maknanya adalah, apapun yang الله سبحانه و تعالىٰ haramkan,
pasti bisa ditinggalkan. Sehingga ketika seseorang ingin berbuat zina, pasa
saat itu pula dia mampu untuk meninggalkannya, untuk tidak berbuat zina, dan
seterusnya, apa yang الله سبحانه و تعالىٰ
haramkan pasti mampu untuk
ditinggalkan.
Dan ketiga yang dikatakan oleh Umar رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه , “Dan seutama-utama amal adalah niat yang benar untuk meraih
pahala di sisi الله سبحانه و تعالىٰ ”.
Karena tanpa niat yang benar, maka pahala tidak akan bisa diraih, sehingga amal
sebesar apapun tanpa niat yang benar karena الله سبحانه و تعالىٰ , maka kita tidak akan bisa meraihnya.
Oleh karena itu niat yang benar adalah seutama-utama amal. Dan niat itu
letaknya di hati.
Berkata sebagian para salaf, “ Berapa banyak amal
yang kecil, menjadi besar dikarenakan niat”. Mungkin amalnya adalah sekedar menyingkirkan duri di
jalan, tapi karena niatnya benar, karena niatnya ikhlas karena الله سبحانه و تعالىٰ ,
menyingkirkan gangguan bagi kaum muslimin bagi para pengguna jalan, tanpa
pamrih, tanpa ingin ada balas jasa atau balas budi, maka itu di nilai besar di
sisi الله سبحانه و تعالىٰ .
Meskipun hanya sekedar menyingkirkan duri di jalan, gangguan di jalan.
Dan berapa banyak amal yang besar menjadi kecil dikarenakan
niat, ibadah jihad, ibada haji yang membutuhkan modal besar, menjadi kecil
nilainya tatkala tidak dibarengi niat yang ikhlas. Jihad dengan harta dan jiwa,
bersimbah darah, bahkan mungkin menemui kematian, tapi kalau tidak niat yang
benar, yang ikhlas karena الله سبحانه و تعالىٰ , maka tidak bernilai pahala.
Tholabul ‘ilmi, menuntut ilmu, keutamaan yang
besar, ibadah yang besar, kewajiban yang besar, tapi kalau tidak dibarengi niat
yang benar karena الله سبحانه و تعالىٰ , maka menjadi sirna pahalanya,
berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Tapi niat sekecil apapun, bahkan
mungkin perkara-perkara mubah, perkara-perkara duniawi, rutinitas-rutinitas
sehari-hari, makan, minum, ini adalah perkara yang mubah, tidak berpahala, tapi
karena niat yang benar, agar ibadahnya semakin kuat, agar mampu melaksanakan
ketaatan kepada الله سبحانه و تعالىٰ
yang sempurna denfan fisik yang
optimal dan prima. Maka disaat itu
rutinitas yang mubah, perkara duniawi, rutinitas perkara duniawi menjadi
bernilai pahala disisi الله سبحانه و تعالىٰ , karena niat yg benar. Maka disinilah
betapa pentingnya niat.!!
Yanya bin Abi Katsir mengatakan, “Belajarlah niat,
pelajarilah niat, karena sesungguhnya niat itu lebih menyampaikan ke tujuan
dari pada amal!!”.
Amal mungkin bisa tidak sampai kepada الله سبحانه و تعالىٰ , tidak diterima jika tidak ikhlas.
Tetapi niat seorang berazam, bertekad ingin beramal, hanya sekedar niat, niat
kebaikannya sudah dicatat sebagai pahala, di sisi الله سبحانه و تعالىٰ . Maka pelajarilah niat, karena
sesungguhnya niat itu lebih menyampaikan kepada tujuannya. Mendapatkan pahala
di sisi الله
سبحانه و تعالىٰ .
Namun, apakah niat itu harus dilafadzkan ? diungkapkan,
dibeberkan dan diucapkan. Ada satu riwayat yang disebutkan oleh Penulis, dari
Ibnu Amar رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه , “Beliau mendengar seseorang ketika
sedang ihrom berkata “ALLahuma inni uriidul hajja wal ‘umrota” “Ya Allah, aku
hendak berhaji dan ber-umroh”, maka Ibnu Umar رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه berkata,
“Apakah
engkau hendak memberi tahu orang lain ?” apakah engkau hendak mengabarkan orang lain ?. Hal ini
karena niat adalah maksud hati, kehendak hati, sehingga tidak perlu
dilafadzkan. Maka tidak perlu dilafadzkan, dalam ibadah apapun. Namun disyariatkan
dalam ibadah haji dan umroh untuk mengucapkan, “Labbaik ALLahumma labbaik, labbaik
allahuma bi hajatin” atau “labbaik Allahumma bi ‘umrotin” atau ketika haji qorin “ labbaik allahuma bi ‘umrotin wa hajjatin”. Dan ini yang dikenal dengan istilah ihlal atau talbiyah
(bukan melafadzkan niat).
Semoga ini bisa dipahami dan memberikan faedah bagi kita
semua akan pentingnya niat. Sehingga dalam semua aktivitas baik yang bernilai
mubah /perkara duniawi, apalagi yang bernilai ibadah, maka seyogiyanya bagi kita
untuk menghadirkan niat. Karena begitu pentingnya niat dan urgensinya niat itu.
Semoga الله سبحانه و تعالىٰ
memberikan taufik kepada kita untuk
meluruskan niat-niat kita pada setiap ibadah-ibadah yang kita lakukan. Amiin.
WaLLahu ‘alam bishowab.
Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin
Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus
(penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)
TAZKIYATUN-NUFUS 📚
Halaqoh #007
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba’ah #6
Mutaba’ah Sunnah Rasul
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Bismillahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Alhamdulillahi hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fiih,
kamayuhibbu robbunaa wayardho, wa-asyhadu allaa ilaaha illallah wahdahulaa
syariikalah, wa-asyhaduanna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh, ‘amma ba’ad.
Ikhwani wa akhawati fillah rohimani wa rohimakumullau jami’an, halaqoh hari ini adalah halaqoh yang ke tujuh, pada
poin ikhlas, di mana poin alif adalah membahas secara khusus tentang Ikhlas,
sekarang poin yang ba membahas tentang mutaba’atus-sunnah,
mengikuti sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Mutaba’ah berarti ‘ala wazni mufaa’alah (على وزن المفاعلة), mengikuti wazan (timbangan
shorof) mufaa’alah.
Yaitu taaba’a - yutaabi’u - mutaaba’atan
(تابع - يتابع -متاعبة). Juga bermakna
ittaba’a - yattabi’u - ittibaa’an
( اتبع - يتبع -اتباعا) , ittiba’. Ittiba’ bi ma'na iqtida’ (اقتداء) meneladani,
mencontoh, mengikut sunnah-sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, baik ucapan,
perbuatan ataupun perkara-perkara yang didiamkan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ.
Berkata Syaikh DR Ahmad Farid حفظه الله, “Syarat yang kedua agar diterimanya amal adalah agar amal
tersebut muthoobiqon, sesuai dengan sunnah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”. Hal ini sesuai dengan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ قَالَ ابْنُ عِيسَى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَنَعَ أَمْرًا عَلَى غَيْرِ أَمْرِنَا فَهُوَ
رَدٌّ.
Dari ‘Aisyah رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنها, telah bersabda
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Barang
siapa yang mengada-adakan, membuat perkara baru dalam urusan kami (Islam), yang
bukan bagian dari agama ini, maka amalan tersebut tertolak”
Pada riwayat yang lain, menurut Imam Muslim “Barang siapa yang
beramal dengan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami, maka amalan
tersebut tertolak”.
Hadits ini adalah dasar dari
dasar-dasar Islam. Sebagaimana hadits, bahwasanya, “amal tergantung
niat", itu menjadi timbangan, timbangan dalam amalan secara bathin, maka
hadits ini adalah timbangan bagi amalan secara lahir. Sebagaimana setiap amalan
yang tidak dimaksudkan dengan amal tersebut mengharap wajah الله سبحانه و تعالىٰ , pelakunya
tidak mendapatkan pahala sama sekali, demikian pula setiap amalan yang tidak
sesuai dengan perintah Allah dan RosulNya, maka amalan tersebut juga roddun ‘ala amilihi (رد على عامله), tertolak.
Artinya bahwa amalan yang tidak ikhlas tidak diterima dan
amalan yang tidak mengikuti sunnah, yang
tidak mencontoh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ juga tertolak ( tidak diterima).
Karena makna sabda Nabi ليس علبه أمرنا "laisa ‘alaihi
amruna", " tidak di atas perkaranya kami", hal ini menunjukkan
bahwa semua amalan dari orang-orang yang beramal, semuanya harus seyogiyanya di
bawah ketentuan hukum-hukum syariah. Sehingga hukum-hukum syariah menjadi hakim
penentu atas amalan-amalan tersebut, baik berkaitan dengan perintah ataupun
larangan-larangan.
Maka barang siapa yang amalnya berjalan di bawah
hukum-hukum syariah, sesuai dengan hukum-hukum syariah, maka amalan itu maqbul/
diterima. Dan sebaliknya, barang siapa yang amalannya keluar dari ketentuan
itu, maka mardud/ tertolak.
Kemudian Mu’allif
(penulis) melanjutkan, menerangkan hal ini, Allah telah mewajibkan atas kita
untuk taat kepada RosulNya صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, QS Al-Hasyr ayat 7:
......وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا.....(7)
Dan apa yang datang dari Rosul kepada kalian, maka ambilah,
dan apa yang Rosul larang bagi kalian, maka tinggalkanlah.
Dan الله سبحانه و تعالىٰ
berfirman: QS Al-Ahzaab ayat 36.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى
الله وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ
يَعْصِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا(36)
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan
perempuan yang mukmin, apabila ALLah dan RosuluNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan
yang lain bagi mereka tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai
ALLah dan RosuluNya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang
nyata.”
Artinya orang yang tidak menerima ketentuan ALLah dan
RosulNya, tidak beramal dengan ikhlas, dan juga
tidak ittiba' kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, atau masih ada
pilihan lain bagi mereka, masih mengikuti hawa, masih mengikuti prasangka,
masih mengikuti kira-kira, masih mengikuti perkataan orang yang bertentangan
dengan kitabuLLah dan sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, tidak
meneladani Nabi, tidak mencontoh Nabi, maka sungguh dia telah sesat yang nyata.
Karena ucapan orang yang beriman apabila dipanggil maka akan mengatakan sami’na wa atho’na ( kami dengar dan kami taat).
الله سبحانه و
تعالىٰ telah
menjadikan pengikut sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebagai bukti akan kecintaannya kepada الله سبحانه و تعالىٰ.
الله سبحانه و
تعالىٰ berfirman, QS Ali Imron ayat 31:
.....قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ الله.....(31)
“Katakanlah
Muhammad, jika kalian mencintai ALLah, maka ikutilah aku, maka الله سبحانه و
تعالىٰ akan mencintai kalian".
Berkata Hasan Al-Basri, “Manusia mengaku mencintai ALLah Azza wajalla, lantas ALLah
menguji mereka dengan turunnya ayat ini, “Katakanlah Muhammad, jika kalian betul-betul mencintai
ALLah, maka ikutilan aku” yakni Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka ALLah
akan mencintai kalian.
Jadi pertanda, bukti kalau seseorang itu mencintai ALLah,
adalah mengikuti RosuluLlah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Bukti kalau
seseorang itu mencintai, mengagungkan dan memulyakan الله سبحانه و تعالىٰ, maka dia
beramal sesuai dengan petunjuk Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Sebagaimana pula Nabi mewasiatkan untuk berpegang teguh
dengan sunnahnya, dan juga sunnah khulafaur-rasyidin, para khalifah-khalifah
Rasyidin yang 4, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,:
....... فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي
فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian, yakni
sepeninggal Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka dia akan
mendapatkan ikhltilaf yang banyak, (perselisihan yang sangat banyak), maka
solusinya kata Nabi, wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnah ku dan
sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah dengan
gerahammu, (bermakna pegang erat-erat), dan waspadalah kalian dari hal
perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud,
Tirmidzi, dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Demikian
pula hadits ini diriwayatkan oleh Imam Darimi, Ibnu Majah dan Imam Baghowi.
Ittiba’ kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berarti kita mengikuti dan mencontoh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ baik dalam keyakinan, ucapan maupun
perbuatan. Sehingga apa yang diyakini oleh Nabi juga diyakini oleh kita, apa
yang diucapkan oleh Nabi kita contoh pula, apa yang diperbuat oleh Nabi, kita
contoh pula. Sebagaimana Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam kaitannya akidah, iman kepada الله سبحانه و تعالىٰ, iman terhadap
malaikat, iman terhadap kitab-kitab الله سبحانه و تعالىٰ, iman terhadap Rosul-rosul, iman
terhadap hari akhir, iman terhadap qodho dan qodar, maka keyakinan ini harus
dibangun di atas keyakinan yang diyakini oleh RosuluLlah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ.
Bukan semata-mata mendahulukan akal, sehingga yang tidak
sesuai dengan akal justru dimentahkan, dibuang jauh-jauh. Jangan sampai justru
mengikuti dan mendewakan hawa nafsu, sehingga yang tidak sesuai dengan
keinginan atau hawa nafsunya dimentahkan dan dibuang jauh-jauh. Karena
berpegang teguh dengan sunnah Rosul adalah satu-satunya jalan keselamatan.
Ittiba’, berpegang teguh dengan sunnah Rosul adalah satu-satunya jalan keselamatan.
Demikian pula kita dalam berucap, selalu berusaha mengikuti
dan meneladani Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Demikian pula
di dalam berbuat, selalu berusaha dan mengikuti yang diamalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. Jika ada amalan atau perbuatan yang meskipun
itu sudah lazim di masyarakat, sudah menjamur di tengah-tengah masyarakat,
namun tidak dicontohkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka jangan
segan anda mengatakan tidak, karena lebih baik anda dicampakkan dijauhkan dari
masyarakat, daripada anda dijauhkan dari surga الله سبحانه و تعالىٰ. Karena hakekatnya tetap berpegang
teguh dengan sunnah Nabi adalah kesuksesan, jalan keselamatan.
Hal ini sebagaimana perkataan Imam
Zuhri, “Berpegang
teguh dengan sunnah Nabi adalah keselamatan”. Karena sunnah itu ibarat perahu Nabi
Nuh عليه سلم, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Imam Malik, “Sunnah itu ibarat
perahunya Nuh عليه سلم,
barang siapa yang naik, maka dia sukses, dia selamat dari petaka, dan barang
siapa enggan, tidak naik perahu tersebut, maka dia binasa”.
Kalau anda bayangkan, pahami betul-betul perkataan Imam
Malik ini, maka sangat bisa dipahami, bahwa sunnah adalah seperti perahunya
Nabi Nuh عليه
السلام,
dimana tatkala itu terjadi banjir bandang yang begitu besar, air turun dari
atas langit, semua sumber-sumber air memancarkan air nya, sehingga bertemu
dalam suatu titik, dan menjadilah semuanya banjir seluruh jagat raya ini. Tidak
ada yang akan bisa selamat kecuali dengan menaiki perahunya Nabi Nuh عليه السلام.
Maka demikianlan kita hidup pada zaman ini, tidak ada yang
bisa menyelamatkan kita dari semua fitnah shubhat ataupun fitnah syahwat.
Fitnah shubhat, kerancuan dalam berfikir, kecuali dengan kembali kepada sunnah
Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ibarat kita mengendarai atau numpak perahu Nabi Nuh عليه سلم,
tidak ada jalan lain kecuali harus numpak perahu itu, tidak ada jalan lain
kecuali harus ittiba’ dengan sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ.
Berkata Sufyan, “Ucapan tidak diterima kecuali dengan amalan (dipraktekan),
dan perkataan dan perbuatan tidak akan istiqomah, tidak akan langgeng, kecuali
didasari dengan niat (niat yang shalihah), dan tidak akan istiqomah (tidak akan
lurus), perkataan, perbuatan dan niat, kecuali dengan mengikuti sunnah
Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Perkataan terakhir adalah perkataan Ibnu Syaudzab, “Sesungguhnya
diantara nikmat ALLah atas pemuda, yaitu
apabila dia beribadah dengan diberi taufik oleh الله سبحانه و تعالىٰ untuk
mengikuti jalannya seorang ahli sunnah, sehingga seorang ahli sunnah itu akan
membawanya kepada sunnah. Ini adalah termasuk nikmat yang begitu besar atas
seorang pemuda. Terlebih kita ketahui bahwa kebanyakan orang yang punya
pemikiran terlalu banyak menyimpang dari kitabuLLah dan sunnah Rasulullah
adalah para pemuda, karena jauhnya mereka dari pemahaman agama.
Maka jalan sukses untuk kita beragama adalah untuk kembali
kepada Dien ini, kembali belajar ilmu syar’i,
karena inilah satu-satu nya untuk kita lebih mengenal agama Islam secara
mendalam, sehingga hati kita semakin bersih dari segala kotoran yang
mengotorinya, hati kita semakin jernih karena ilmu sebagai penjaga atas hati
kita, yang menyinarinya, yang membersihkannya dan juga yang menangkis segala
virus, kotoran ataupun amal-amal yang bisa mengotorinya.
Demikian semoga berfaedah dan
bermanfaat.
Haada ma’akulu lakum walhamdulillahirobbil ‘alamin.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Disalin oleh: Ummu Della
Dimuroja'ah oleh: Ustadz Tauhiddin
Ali Rusdi Sahal, Lc
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus
(penulis: Syaikh DR Ahmad Farid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar