Jumat, 23 Januari 2015

Jodoh Hadits 33

Syarah Hadits ke-33
Oleh Ustadz Arif Fathul 'Ulum, LC

بسم اللّه. إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه و على آله و أصحابه ومن واله و سلم تسليما كثيرا. أما بعد.

قَدْ قَالَ رسول الله صلّى اللّه عليه وسلّم: سِبَابُ الْمُسْلِم فُسُوقٌ وَقِتالُهُ كُفْرٌ

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: "Mencaci seorang muslim adalah suatu kefasiqan dan memerangi seorang muslim adalah kekufuran".

Ini adalah hadits yang Muttafaqun 'alaih, yang disepakati atas keshahihannya, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua Shahihnya.

Yang hadist ini hadits yang menunjukkan tentang larangan mencaci seorang muslim, berbicara yang tidak pantas pada kehormatannya dan apa yang tercela baginya. Yang Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyatakan bahwa "Mencaci seorang muslim adalah kefasiqan", yaitu keluar dari keta'atan kepada Allah dan RasulNya, karena dia telah melakukan perkara yang dilarang oleh Allāh dan RasulNya.

Berkata Imam Nawawi rahimahullāh didalam Syarah Shahih Muslim: "Maka diharamkan mencaci seorang muslim dengan tanpa sebab yang syar'i".

Kemudian juga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda وَقِتالُهُ كُفْرٌ, dan memerangi seorang muslim adalah kekufuran. Dan kufur disini sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, maksudnya adalah كُفْرٌ عَمَلٍ, yaitu kufur 'amal atau كُفْرٌ دُوْنَ كُفْرٍ yaitu kufur yang masih belum mengeluarkan pelakunya dari agama. Meskipun jelas orang memerangi seorang muslim sangat berbahaya, karena Rasūlullāh menyatakaa diatas kekufuran. Akan tetapi kita tidak boleh berlebihan didalam memahami "كُفْرٌ" ini dengan pemahaman yang keliru. Rasūlullāh mengatakan bahwa: "Seseorang yang memerangi seorang muslim adalah keluar dari Islam", karena ini menyelisihi dari pemahaman yang benar, dari pemahaman salafunash shālih (para salafush shālih) yang menyatakan bahwa maksud dari kafir disini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, dalam artian dia tidak menghalalkan perbuatan tersebut. Kalau dia menghalalkan memerangi seorang muslim, maka dia telab menghalalkan yang diharamkan oleh syari'at, maka jelas dia kafir karena menghalalkan perbuatan yang dilarang oleh Allāh Subhānahu wa Ta'ālā. Adapun kalau dia tidak menghalalkan dari memerangi seorang muslim, akan tetapi dia melakukannya karena hawa nafsu, maka ini tidak mengeluarkan dia dari agama.

Dan dalil bahwa perbuatan memerangi seorang muslim, dia bukan kufur yang mengeluarkan dari agama. Atau meskipun dia disebut kafir yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta'ālā didalam Surat Al-Hujurāt ayat 9&10:

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ   فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِن فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10)

Dan jika ada 2 kelompok dari kaum mu'minīn yang mereka berperang maka damaikanlah antara 2 kelompok ini. Jika salah satu dari 2 kelompok ini melampaui batas pada yang lain, maka perangilah yang melampaui batas sampai kelompok yang melampaui batas ini kembali kepada perintah Allāh. Kalau yang melampaui batas sudah kembali (sudah bertaubat), maka damaikanlah antara 2 kelompok ini dengan keadilan dan berbuat adillah. Sesungguhnya Allāh mencintai orang-orang yang berbuat keadilan (9). Sesungguhnya kaum mu'minīn mereka adalah bersaudara maka damaikanlah diantara saudara-saudara kalian (10)

Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa 2 kelompok yang berperang, Allāh jadikan sebagai saudara pada kelompok yang mendamaikan. Ini menunjukkan bahwa 2 kelompok yang berperang ini keduanya tidak keluar dari agama meskipun melakukan peperangan.

Ini jelas merupakan nash yang menunjukkan bahwa maksud kufur dalam hadits ini bukanlah kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Kecuali bagi yang menghalalkan, maka dia telah istihlal (menghalalkan sesuatu yang diharamkan), maka ini jelas telah keluar dari agama.

Kaum mu'minīn yang dirahmati Allāh 'Azza wa Jalla, maka hadits ini menunjukkan kepada kita tentang haramnya mencaci seorang muslim dengan tanpa haq, yaitu menshifati apa yang dia tidak suka. Yaitu ketika dia ada, dia dicaci, disebutkan tentang ayatnya. Ini adalah merupakan suatu kefasiqan. Adapun kalau dia dicaci, dijelekkan, ketika dia tidak ada maka ini adalah ghibah, ini diharamkan Allāh Subhānahu wa Ta'ālā. Allāh berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا (58)

Sesugguhnya orang-orang yang menyakiti kaum mu'minīn dan kaum mu'mināt dengan tanpa sebab yang mereka perbuat, sungguh orang yang menyakiti ini akan memikul buhtan dan dosa yang nyata (Al-Ahzab 58).

Maka jelas bahwa mencaci seorang mu'min adalah perbuatan yang diharamkan. Dan sungguh sangat disayangkan bahwa banyak dari kaum muslimin pada hari ini yang mereka biasa menyakiti saudaranya. Yang ini jelas perkara yang dilarang, menjelekkan atau ghibah atau menyebutkan aibnya, kejelekannya ataupun ketika dia tidak ada, ini semua adalah dilarang oleh Allāh Subhānahu wa Ta'ālā.

Kemudian juga hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa orang yang mencaci kepada sesamanya (sesama kaum mu'minīn, sesama orang yang beriman), maka dia telah fasiq, merupakan suatu kefasikan. Yang disini disebutkan oleh Syaikh Muhammad Shalih 'Utsaimin didalam syarah terhadap hadits ini bahwa ketika seseorang mencaci saudaranya maka dia adalah fasiq, yang tidak diterima persaksiannya, yang dia tidak pantas menjadi orang yang menjadi saksi ataupun menjadi wali karena kefasikannya. Ini yang dijelaskan oleh banyak para ulama, bahkan tidak boleh dia menjadi imam, tidak boleh menjadi muadzin dan sebagainya.

Walaupun dalam hal ini ada perbedaan pendapat diantara para ulama tetapi yang disepakati perbuatannya diharamkan. Kemudian ketika seseorang melebihi hal itu, bahkan sampai memerangi, maka ini perbuatan yang menjadikan dia dikatakan kafir kalau dia menghalalkan dari perbuatan tersebut. Adapun kalau dia masih mengakui tentang haramnya perbuatan ini tapi dia melakukannya karena hawa nafsu maka dia belum dikafirkan (keluar dari agma). Tetapi jelas dia berada dalam dosa yang sangat besar. Sebagaimana dihdalam hadits ini yang disebutkan Rasūlullāh sebagai kekufuran, yang tidak boleh seseorang menggampangkan dalam hal ini.
Kaum mu'minīn yang dirahmati Allāh Subhānahu wa ta'ālā, marilah kita semua menjauhi segala perkara yang dilarang dan dibenci oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dan dilarang Allāh Subhānahu wa Ta'ālā dan dimurkai Allāh Subhānahu wa Ta'ālā. Karena sesungguhnya setiap perkara yang dibenci Allāh dan RasulNya adalah mafsadah (kerusakan) bagi kita, entah didunia kita atau akhirat kira, maka wajib kita menjauhinya agar kita mendapat keselamatan dan kebahagiaan sampai bertemu Allāh Subhānahu wa Ta'ālā.

Wabillāhit taufiq wal hidāyah.

و صلى الله على محمد و على آله و صحبه أجمعين.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


https://www.dropbox.com/s/kdkoqwozabt9f1q/Hadits%20ke%2033.aac?dl=0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar